Al-Malik Ash-Shalih, Sang Pemanggul Da’wah Islam

Makam Sultan Al-Malik Ash-Shalih yang wafat pada 696 H/1297 M di Gampong Beuringen, Samudera, Aceh Utara.

Meurah Silu yang sesudah memeluk Islam berganti nama menjadi Malikussaleh, juga tidak tampak sebagai sosok pengemban da’wah Islam dalam Hikayat tersebut. Perhatiannya lebih tertarik kepada orang Keling yang mampu melihat asap emas dari kejauhan. Emas lebih memikatnya. Ini pantas saja, sebab bagaimana seorang yang masa mudanya suka menyambung ayam, mengalahkan lawan untuk kepentingan pribadi, dan memiliki daya pikir yang sangat rendah seperti menamakan negeri dengan nama anjingnya, dan melahap semut besar lalu menamakan negerinya dengan semut besar seolah menginginkan agar perbuatannya yang menjijikkan itu dikenang oleh ramai orang! Bagaimana seorang aneh seperti ini dapat menjadi sultan pengemban beban da’wah Islam yang begitu berat dan membutuhkan sebuah kepribadian dengan komposisi khusus?!

Memahat Keagungan

Nisan Al-Malik Ash-Shâlih atau Al-Malikush-shâlih—demikian pengucapan yang benar dan diterima dalam cita rasa Muslim—dari sisi struktur materilnya: bahan baku, ornamen, relief, kaligrafi dan pilihan ayat-ayat Al-Qur’an yang diukir, memiliki kecenderungan cita rasa seni Islam di era kesultanan Aceh Darussalam. Yakni, seni yang secara kontras memunculkan suatu assimilasi budaya masyarakat pra-Islam di utara Sumatera dengan nilai-nilai Islam yang universal.

Dari sini terbuka kemungkinan, nisan Al-Malik Ash-Shâlih yang terdapat di gampong Beuringen, Samudera, Aceh Utara, hari ini adalah pengganti nisan asli. Penggantian itu barangkali dilakukan dalam masa awal era Aceh Darussalam di abad ke-16 M. Hal ini juga didukung oleh satu kenyataan paleografi yang menunjukkan bahwa ketika dilakukan pemahatan ulang inskripsi yang mengungkapkan tentang pemilik makam (Al-Malik Ash-Shâlih), pemahat melakukan dua kekeliruan, yang mungkin untuk waktu itu, dianggap bisa dimaafkan.

Pada pemahatan kalimat Al-Mulaqqab Sulthân Malik Ash-Shâlih (yang digelar Sultan Malik Ash-Shâlih) terdapat satu kekeliruan menyalahi kaidah bahasa Arab: kata malik ditulis tanpa diawali alif-lâm yang seharusnya ada seperti terdapat pada inskripsi nisan-nisan Muhammad Al-Malik Azh-Zhâhir, Nahrâsyiyah dan Zain Al-‘Âbidin Râ Ababdâr untuk kata yang sama: Al-Malik Ash-Shâlih. Namun, kekeliruan ini justeru menjadi salah tanda bahwa batu itu telah dipahat pada masa kemudian sebab cara penulisan yang menghilangkan alif-lam pada suku kata pertama itu merupakan bentuk penulisan yang dipengaruhi tradisi Persia di mana dalam naungannya bahasa Jawiy pertama sekali ditumbuhkan dan semakin banyak menyerap kaidah-kaidah bahasa Persia yang beraksara Arab dalam masa-masa penghujung abad ke- 15 M.

Kekeliruan kedua, kalimat: Allâdzî intaqala min Ramadhân (yang berpindah [ke rahmatullah] dari bulan Ramadhan), di antara kata intaqala dan min seharusnya terdapat huruf jar (fî) dan kata bilangan tanggal wafat, misalnya: Allâdzî intaqala [fî-s-sâbi’ ‘asyar] min Ramadhân. Yang terakhir ini dapat menandakan bahwa pemahat meniru kembali kalimatkalimat inskripsi nisan Al-Malik Ash-Shâlih yang asli, namun barangkali karena kaligrafi dan bahan batunya berbeda dengan yang asli, pemahat jadi terjebak dalam kekeliruan tersebut.

Walau bagaimanapun, adalah suatu hal yang dapat dipastikan bahwa pada masa pemahatan nisan ini, apalagi sebelumnya, Al-Malik Ash-Shâlih adalah sosok sangat dikenal, sejarah hidupnya dikenang dan diteladani, dan semangat yang dikembangkannya menjadi inspirasi bagi generasi-generasi berikutnya. Hal ini seperti terlihat jelas pada kepribadian Sultan ‘Ali ibn Syams ibn Munawwar Al-Makhshûsh bi Mughâyati-Llâh atau lebih dikenal Sultan ‘Ali Mughayat Syah (wafat 936 H/1530 M), yang merupakan pelopor kebangkitan Aceh Darussalam dan kaum Muslimin di Asia Tenggara. Catatan pada nisannya di komplek Kandang XII, Banda Aceh, menunjukkan bahwa ia juga sosok yang punya kemiripan besar dengan Al-Malik Ash-Shâlih.

Sang Pemanggul Da’wah Islam
Banyak orang mengenal Samudra Pasai sebagai salah satu pusat penyebaran Islam di Nusantara. Namun, asumsi ini pada hakikatnya tidak sepadan dengan bobot Hikayat Raja-raja Pasai. Proses Islamisasi yang diceritakan dalam Hikayat sangat minim baik dari sisi ruang gerak maupun peran pelakunya. Ketika Syaikh Ismail dari Arab sampai ke negeri di bawah angin dan menjumpai Meurah Silu, yang terakhir ini sudah dapat mengucap dua kalimat syahadat, lalu orang-orang pun dikumpulkan dan dimasukkan dalam Islam. Selesai!

Meurah Silu yang sesudah memeluk Islam berganti nama menjadi Malikussaleh, juga tidak tampak sebagai sosok pengemban da’wah Islam dalam Hikayat tersebut. Perhatiannya lebih tertarik kepada orang Keling yang mampu melihat asap emas dari kejauhan. Emas lebih memikatnya. Ini pantas saja, sebab bagaimana seorang yang masa mudanya suka menyambung ayam, mengalahkan lawan untuk kepentingan pribadi, dan memiliki daya pikir yang sangat rendah seperti menamakan negeri dengan nama anjingnya, dan melahap semut besar lalu menamakan negerinya dengan semut besar seolah menginginkan agar perbuatannya yang menjijikkan itu dikenang oleh ramai orang! Bagaimana seorang aneh seperti ini dapat menjadi sultan pengemban beban da’wah Islam yang begitu berat dan membutuhkan sebuah kepribadian dengan komposisi khusus?!

Itukah kisah dari seorang yang bergelar Al-Malik Ash-Shâlih (raja yang shalih)?! Bukankah sosok yang diceritakan Hikayat itu akan langsung mengingatkan kita kepada Ken Angrok, pendiri Singosari yang berasal dari orang kebanyakan dan tidak diketahui asal-usulnya?!

Ada sesuatu yang bergerak tidak wajar di lapisan bawah teks Hikayat ini. Apakah karena Islam mengandung perkaraperkara ghaib lantas dengan serta merta pelbagai takhayul dan mistik dapat dibenarkan, diterima dan dikembangkan dengan begitu mudah?! Sesuatu yang sebenarnya sudah mesti disadari bahwa Islam telah meletakkan dasar-dasar keyakinan yang sederhana dan gampang dicerna akal logis, dan tidak sesemeraut dan serumit kisah-kisah mistis.

Lalu, bagaimanakah sosok Al-Malik Ash-Shâlih?

Baca Selengkapnya…

Related posts