Tekat Aceh Melindungi Negeri Jawi

Lembaran Surat Sultan Manshur Syah bin Sultan Jauharul ‘Alam Syah

Maka kami memesankan kepada Anda sekalian untuk memenuhi segala keperluan pelayan kami ini baik itu dirham (keuangan) maupun kebutuhan pokok sejumlah yang diperlukannya sekalipun itu berjumlah 2000 Riyal, 5000 Riyal, 10000 Riyal atau lebih dari itu. Anda sekalian diharapkan membantunya dan memberikan apa saja yang diperlukannya sampai cukup, dan mohon tuliskan untuk kami dan untuk dia satu tanda bukti serta hadirkan beberapa saksi di depannya. Nanti pada hari Anda sekalian telah sampai kepada kami dengan membawa tanda bukti, maka kami akan mengembalikan kepada Anda sejumlah yang tertera dalam tanda bukti itu.

Mohamad Said mengutip sumber Belanda (George Kepper, De Oorlog tusschen Nederland an Atchin, Rotterdam, 1874, hal. 37):

“Muhammad Rus—demikian dituliskannya—atau Sidi Muhammad adalah seorang kelahiran Pidie tahun 1828 yang telah menempuh suka duka hidup yang tidak biasa. Antara lain, ia seorang yang dibuang oleh orang tuanya sendiri di masa kanak-kanak karena terlalu nakal (?!). Ia dihanyutkan dalam perahu tidak berdayung, lalu diselamatkan oleh kapal Prancis (?!). Semasa di Prancis, dalam bulan September 1852 diperolehnya visa dari Duta Besar Belanda di Prancis untuk berkunjung ke Nederland (?!). Beberapa minggu kemudian tersiar berita dalam surat kabar “Constitutioneel” yang isinya antara lain, Presiden Prancis (Napoleon III) telah menerima kunjungan utusan Sultan Aceh. Utusan ini menampilkan pembawaan gagah, berkulit kehitam-hitaman mirip Habsyi (?!). Ia menyerahkan kepada Napoleon III bingkisan berupa sebuah kotak yang indah. Menurut katanya dibuat oleh tukang orang Tionghoa dari logam termahal yang terdapat di Aceh dan hanya dapat dibuat di Aceh. Begitupun menurut si peneliti, benda indah klasik itu seakan-akan tiruan dari bikinan Eropa di abad lampau (?!). Duta Besar Aceh itu menyampaikan hasrat yang sedalam-dalamnya kepada Pangeran-Presiden Prancis dari Sultan Aceh untuk mengikat tali persahabatan akrab (?!). juga di Istambul Sidi Muhammad berhasil memperoleh simpati yang menguntungkan (?!). Ia memakai bintang dari Sultan (?!). Setelah berada beberapa waktu bersama Sultan, ia pun pindah ke Terumon. Di sana ia memakai namanya Nyak Adam dan berpengaruh besar kepada Raja Muda (?!). Ia seorang yang ambius, cakap besar (?!). Rencana-rencana yang bertujuan memusuhi Belanda sampai sedemikian rupa, sehingga ia meramalkan bahwa dalam sedikit tempo saja nanti bendera Aceh sudah akan berkibar di Betawi.” —sekian dengan sedikit penyuntingan redaksi.

Pembusukan terhadap pribadi Muhammad Ghuts yang digambarkan seolah sebagai seorang petualang, pecundang dan munafik, oleh sumber ini sangat kentara—saya beri tanda (?!). Sehingga, tanpa harus ada dokumen pembanding, Mohamad Said sudah menciumnya, dan mengatakan, “ Sumber Belanda tentang Muhammad Ghuts tentunya memerlukan saringan khusus berkenaan dengan segi negatif.”

Sayang sekali, sampai kini, saya belum tahu kalau ada penyaringan yang dilakukan. Bahkan, nama Muhammad Ghuts jarang terdengar dalam percakapan mengenai sejarah Aceh, jika tidak ingin dikatakan tidak pernah terdengar sama sekali.

Sesungguhnya, apa yang dicoba-tebarkan oleh sumber Belanda itu sangat jauh berbeda dengan apa yang secara jelas dapat ditangkap dari dalam dua lembaran surat Sultan Manshur Syah. Jika kita bertanya sekarang, siapa Muhammad Ghuts, maka Sultan Manshur Syah—rahimahullah—telah menjawab:

“…dianya hulubalang patik lagi nasab dengan patik, namanya Muhammad Ghuts bin ‘Abdurrahim karena dianya amanah patik lagi badal ganti patik berjalan menjunjung ke bawah qadam Duli Hadarat ke Negeri Rum dan apa-apa khabarnya sungguhlah khabar patik dan pekerjaannya pun sungguh pekerjaan patik..”

Baca Selengkapnya…

 

Related posts