Siapakah Po Teuh Meurhoem?

Makam di komplek Baitul Rijal (Kandang 12), Banda Aceh

Sebutan “Po Teuh Meurhoem” yang selalu diucapkan orang-orang Aceh—dan kita warisi pada hari ini—pada hakikatnya juga menyiratkan sebuah kerinduan yang terpendam, sebuah kesetiaan yang tidak pernah pupus, sekaligus juga ingatan yang terus saja menyala terhadap berbagai jasa baik mereka dalam membangun bangsa dan umat.

POTEUMERHOEM atau Poteu Meurhoem sebuah sebutan yang telah lama beredar dalam masyarakat Aceh dan sudah populer. Dimaksud dengan sebutan itu adalah raja. Bahkan, secara khusus adalah Raja atau Sultan Iskandar Muda, seorang penguasa legendaris yang namanya paling banyak muncul dalam percakapan tentang sejarah Aceh. Dari sekian banyak raja atau sultan yang pernah berkuasa di Aceh, hanya Sultan Iskandar Muda yang memperoleh perhatian yang begitu tinggi dari masyarakat Aceh yang hidup pasca Perang Dunia II, dan kepadanya disematkan seluruh kehebatan dan kedigdayaan Aceh. Sultan inilah yang lebih dikenal dengan Poteumeurhoem.

Namun demikian, sebutan Poteumerhoem tidak saja digunakan untuk Sultan Iskandar Muda. Sebutan itu juga digunakan masyarakat Aceh untuk menyebutkan beberapa kompleks makam bersejarah di Aceh seperti Jirat Poteumerhoem di Ilie, Ulee Kareing, Banda Aceh, dan kompleks makam Poteumerhoem Muda dan Tua di Peudada, Bireuen, begitu pula Poteumeruhoem Daya di Aceh Jaya yang sudah sangat terkenal. Saya yakin ada beberapa kompleks makam bersejarah lainnya yang juga dikenal masyarakat sekitarnya dengan sebutan Jirat Poteumeurhoem.

Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan Poteumeuhoem ini?

Adalah suatu hal yang sangat terang, sebutan ini terdiri dari tiga suku kata, yaitu: “po” yang berarti pemilik; “teuh” bermakna kita; dan “meurhoem”, yakni almarhum yang telah meninggal dunia. Perubahan bunyi sebutan ini menjadi Poteumerhoem sama sekali tidak mengaburkan bentuknya yang asli, yaitu Po Teuh Almarhum. Maknanya secara harfiah: pemilik kita yang sudah almarhum atau kembali ke rahmatullah.

Sebutan ini sama sekali bukanlah sesuatu yang asing dalam sejarah Islam. Sebutan serupa, malah padanannya, dalam bahasa Arab adalah “Maulana Al-Marhum” (pemilik atau tuan kami yang sudah kembali ke rahmat Allah [almarhum]). Raja (Raj), sebagaimana gelar penguasa yang digunakan oleh bangsa-bangsa di selatan anak benua India dan kepulauannya, atau Khan, seperti digunakan bangsa-bangsa di utara India sampai Asia Tengah, atau Malik dalam istilah bangsa-bangsa Arab, dalam sistem monarkhi tentu dipandang sebagai pemilik. Bahkan hal itu kentara sekali dalam peristilahan Arab di mana kata “malik” memang bermakna pemilik atau penguasa.

Dalam sejarah Islam, malik (pemilik/penguasa) dipanggil dengan “maulaya” atau “maulana” (tuan saya atau kami) dalam berbagai bentuk perbincangan. “Maulana” dengan demikian berarti Tuan kami/kita atau Pemilik kami/kita. Istilah ini malah tidak saja digunakan untuk pemilik kekuasaan politik tapi juga untuk pemilik “kekuasaan” dalam ilmu pengetahuan dan thariqat kesufian di mana guru atau syaikh juga dipanggil dengan “Maulana”.

Dari sini tampak sekali, istilah Po Teuh adalah padanan dari Maulana, malah tanpa ragu dapat dikatakan sebagai bentuk keterpengaruhan dari istilah Arab tersebut.

Sedangkan meurhoem jelas saja berasal dari kata marhum, yakni seseorang yang didoakan semoga Allah merahmatinya setelah kematian.

Po Teuh Meurhoem atau Maulana Al-Marhum memiliki makna yang sama dan juga digunakan untuk maksud yang sama. Sesuatu yang kemudian menarik perhatian dalam hal ini adalah karena istilah “Po Teuh Meurhoem” (Poteumeurhoem), sejak mulai digunakan pada waktu yang belum diketahui pasti sampai dengan hari ni, masih begitu melekat untuk raja-raja Aceh dan malah identik dengannya. Hal ini, saya kira, tidak dijumpai di daerah-daerah Islam lain di Asia Tenggara. Bahkan “Po Teuh Meurhoem” kemudian tidak saja digunakan sebagai sebuah sebutan atau gelar sebagaimana Maulana Al-Marhum namun sudah hampir semakna dengan raja atau sultan.

Mengapa demikian?

Baca Selengkapnya…

Related posts