Asal Muasal Bahasa Melayu dari Samudra Pasai

Asal Muasal Bahasa Melayu dari Samudra Pasai
Inkripsi berbahasa Arab dan Jawi (Sumatra) Kuno pada nisan Ratu Danir, Menye Tujoeh, Pirak Timur, Aceh Utara. Foto: CISAH

T. Ibrahim Alfian telah mengemukakannya dalam Bab IV bukunya, Kronika Pasai, bahwa Bahasa Melayu yang berkembang di Kerajaan Samudra Pasai (1250-1524 M) dinamakan dengan bahasa Jawi oleh Pujangga Hamzah Fansuri (meninggal 1590 M) dan Syaikh ‘Abdur Ra’uf As-Sinkili (meninggal 1680 M).

Asal muasal orang Melayu dan bahasa Melayu masih terus dibincangkan para ahli, sekalipun secara garis besar, mereka telah mencapai beberapa kesimpulan. Antara lain, dikarenakan kawasan selatan Sumatra (Jambi-Palembang) sampai dengan waktu ini merupakan kawasan yang terbanyak memiliki prasasti-prasasti dalam bahasa Melayu kuno, maka para ahli masih pada kesimpulan bahwa bahasa Melayu berasal dari sana.

Keberasalan bahasa Melayu ini juga dikaitkan dengan sebuah kerajaan bercorak Buddhisme yang pernah muncul di kawasan selatan Sumatera, yakni Kerajaan Sriwijaya. Sebab itu, mereka juga berkesimpulan bahwa prasasti-prasasti bahasa Melayu kuno yang dijumpai di kawasan selatan Sumatera berasal dari masa sebelum kemunculan kerajaan-kerajaan Islam.

Sementara mengenai prasasti tertua dalam bahasa Melayu kuno yang dibuat dalam zaman Islam dan masih menggunakan aksara Sumatra kuno, para ahli sepakat menunjuk prasasti pada satu batu nisan yang berada di Gampong Menye Tujoeh, Kecamatan Pirak Timur, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh.

Nisan tersebut adalah nisan makam seorang ratu yang namanya disebutkan pada inskripsi berbahasa Arab. Beberapa ahli telah membacanya, namun menyangkut nama orang yang dimakamkan, mereka menghasilkan bacaan yang berbeda satu sama lain: Nurul A’la, Nurul ‘Aqla, Nurul Ilah, Wabisah. Saya sendiri membacanya: Danir atau Dannir. Inskripsi berbahasa Arab itu juga memuat tarikh wafat pada hari Jum’at 7 (9?) Dzulhijjah 791 Hijriah (26 November 1389 Masehi).

Sementara prasasti berbahasa Melayu kuno yang terdapat pada nisan bagian kaki makam telah dibincangkan oleh para ahli semisal J. G. de Casparis, W. F. Stutterheim, Morisson, dan yang paling mutakhir telah dibaca dan dibahas oleh Willem van der Molen dalam Inskripsi Islam Tertua di Indonesia (2008).

Kepustakaan geografi yang ditulis dalam bahasa Arab sejak Sulaiman At-Tajir (abad ke-3 H/ke-9 M) sampai dengan Ibnu Majid (wafat 906 H/1501 M) menyebutkan sebuah daerah bernama Jawah (Javah) dan mengacu ke wilayah pesisir utara Aceh. Ibnu Baththuthah yang memuat informasi lebih panjang tentang Sumuthrah (Samudra Pasai) dalam karyanya Tuhfah An-Nazhzhar menyebutkan dengan terang, ia telah melihat “Jawah” yang hijau dari jarak setengah hari perjalanan laut.

Ibnu Baththuthah dalam karyanya menyebut Jawah dan Mul Jawah. Jawah, dalam catatan tahun 746 Hijriah (1346 Masehi) yang ditulis Ibnu Baththuthah, adalah wilayah di mana dijumpai sebuah kota yang besar, indah dan dikelilingi benteng serta menara-menara penjagaan yang terbuat dari kayu. Sultannya seorang Muslim pengikut mazhab Al-Imam Al-A’zham Muhammad bin Idris Asy-Syafi’iy—Radhiyya-Llahu ‘anhu. Sedangkan Mul Jawah adalah sebuah negeri kafir.

Sebelum Ibnu Baththuthah, Marco Polo dalam laporannya juga telah menyebutkan Jawa Minor yang nama negeri-negerinya antara lain Samara.

Maka tentang wilayah pesisir utara Aceh yang disebut dengan Jawah (Javah) dalam kepustakaan geografi Arab adalah sesuatu yang tidak diragukan lagi. Pelacakan bukti-bukti untuk adanya daerah inti dari wilayah yang disebut dengan Jawah ini juga masih dilakukan. Daerah aliran Krueng Jawa dan Rayek Jawa di Kecamatan Geureudong Pase, Aceh Utara, adalah di antara daerah-daerah yang sangat dinanti-nantikan dapat menyajikan informasi-informasi berguna menyangkut persoalan keberasalan Jawiy atau Al-Jawiy ini.

Jawiy merupakan sebuah nisbah yang sejak abad ke-16 sudah mulai ditabalkan untuk penghuni kepulauan bawah angin di India Belakang, dan Al-Jawiyyah menjadi nama sebuah bahasa yang merupakan muasal dari Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu hari ini.

Untuk perkembangan bahasa Jawi selanjutnya telah disaksikan untuk pertama sekali unsur Jawi digunakan dalam pemahatan tarikh wafat pada batu nisan. Penanggalan dengan kata-kata angka Jawi telah ditemukan pada beberapa batu nisan dalam abad ke-15. Ini menandakan bahasa Jawi telah mengalami perkembangan signifikan sehingga digunakan dalam penanggalan pada monumen semisal penanda kubur. Namun penggunaan kata-kata angka Jawi pada batu nisan teramati semakin meningkat pada penghujung abad ke-16 Masehi di Aceh Darussalam.

Bahkan, di permulaan abad ke-11 Hijriah, dan masih di penghujung abad ke-16 Masehi, telah ditemukan batu nisan dengan inskripsi yang seluruhnya berbahasa Jawi. Ini menunjukkan bahasa Jawi telah mencapai puncak perkembangannya di abad ke-11 H/ke-17 M Aceh Darussalam. Kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan dari data-data pada batu nisan, sampai saat ini, terlihat selaras dengan perkembangan bahasa Jawi dalam dunia pernaskahan. Bahasa Jawi yang digunakan oleh Nuruddin Ar-Raniriy, misalnya, terlihat sudah sangat mapan dan baku. Wajar jika dikatakan bahwa bahasa Jawi tumbuh dan membesar dalam kandungan abad ke-15 dan ke-16 Masehi dan mencapai kemapanannya di permulaan abad ke-17 M.

Meskipun era Aceh Darussalam abad ke-16 Masehi telah mengantarkan bahasa Jawi ke puncak kemapanannya, dalam karya-karya yang dihasilkan di abad ke-17 Masehi masih saja direkam keberasalan bahasa Jawiy dari daerah Pasai atau pesisir utara Aceh.

Bahasa Pasai dan bahasa Jawi, dengan demikian mengacu kepada satu bahasa yang berasal dari wilayah pesisir utara Aceh dan mengalami awal perkembangannya sedini abad ke-14 M sampai dengan abad ke-15 M, yang kemudian dilanjutkan dalam abad ke-16 Aceh Darussalam.

Sejalan dengan perkembangan penyiaran Islam di Asia Tenggara, bahasa Jawi kemudian dengan sendirinya menjadi bahasa berbagai bangsa di kawasan ini. Sebagaimana Islam telah diterima dan berkembang secara menakjubkan di Asia Tenggara dalam abad-abad ke-15 dan ke-16 M, maka begitu pula pada gilirannya dengan bahasa Jawi yang meraup wilayah-wilayah baru yang luas di Pulau Borneo, Bugis sampai dengan Sulu di timur.

Sebagaimana Islam, para penutur Jawi pun tersebar mulai Aceh di barat sampai dengan Sulu di timur kawasan, bahkan ke seberang samudera India, ke Madagaskar. Dalam kala itulah, abad ke-15 dan ke-16 M, ia menjadi Lingua Franca, bahasa penghubung masyarakat-masyarakat di Asia Tenggara.

Dengan temuan baru ini terjelaskanlah bahwa yang dimaksud dengan bahasa Jawi, bahasa Pasai dan bahasa Sumathrah adalah sebuah bahasa yang telah dikembangkan dan disempurnakan di wilayah pesisir utara Aceh atau tepatnya di wilayah Kerajaan Samudra Pasai, dan kemudian menjadi lingua franca di Asia Tenggara, terutama di negeri-negeri Muslimnya. Bahasa itu berakar dari bahasa Jawi (Melayu) kuno yang sudah lebih dahulu ada serta telah menjadi alat tutur dalam negeri-negeri di pesisir utara Aceh semisal Pasai, Kedah dan Jambur Ayir.

Inilah, kiranya, asal muasal dari bahasa Melayu atau bahasa Indonesia yang dipertuturkan hari ini dan telah menjadi bahasa resmi Malaysia dan Indonesia. Jika tanpa Samudra Pasai (Sumuthrah) pada awalnya, dan jika tanpa Malaka dan Aceh Darussalam pada kemudiannya, sungguh bahasa ini tidak akan mencapai kemapanannya dan menjadi lingua franca di seluruh pelosok kawasan Asia Tenggara. Negara-negara besar semisal Malaysia, Brunei Darussalam dan Indonesia telah berutang budi kepada Samudra Pasai, begitu pula kepada Malaka dan Aceh Darussalam, atas bahasa Jawi modern yang dituturkan oleh warganya hari ini.

Selengkapnya Baca di MAPESA

Related posts