Maju Cagub Aceh, Zaini Abdullah sampaikan pidato politik

Konferensi pers pengumuman pasangan Cagub-Cawagub Aceh periode 2017-2022, Zaini Abdullah-Nasaruddin di Kompleks Taman Sari, Banda Aceh, Minggu (31/7). (Kanal Aceh/Randi)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Bakal calon Gubernur Aceh, Zaini Abdullah mengatakan bahwa ia akan maju dalam Pilkada 2017 mendatang dengan didampingi wakilnya, Nasaruddin. Pasangan cagub dan cawagub Aceh ini akan maju melalui jalur perseorangan atau independen.

Hal tersebut disampaikan Zaini Abdullah dalam konferensi pers pengumuman pasangan Cagub-Cawagub Aceh periode 2017-2022 di bekas halaman Hotel Aceh, Banda Aceh, Minggu (31/7).

Dalam konferensi itu, Zaini Abdullah menyampaikan pidato politiknya untuk menegaskan kembali perihal keinginannya maju sebagai cagub dan berpasangan dengan wakilnya, Nasaruddin.

Berikut teks pidato politik yang disampaikan Zaini Abdullah:

AZAN: Seruan, Pengingat dan Ajakan

Surat Kepada Seluruh Rakyat Aceh

Assalamu Alaikum Wr. Wb.

Rakyat Aceh yang saya cintai,

Banyak yang berkata, secara langsung pada saya, semestinya pada usia ini saya sebaiknya mundur dari hiruk pikuk dunia politik. Bukan tempatnya lagi bagi saya untuk seakan haus kekuasaan dan jabatan. Saya juga membaca banyak kritikan  di media dan komentar di media sosial. Sungguh saya panjatkan syukur saya terdalam, bahwa seluruh kritikan itu saya anggap anugerah dari Allah SWT, yang senantiasa memperingatkan hambanya.

Tapi saya teringat seseorang, yang hingga akhir usianya tetap memegang teguh prinsip dan tujuan perjuangannya. Wali Nanggroe, Tgk. Muhammad Hasan Tiro sejak deklarasinya di Gunung Halimon, hingga ditandatanganinya kesepakatan damai antara GAM dan Pemerintah Indonesia di Helsinki, tidak pernah mundur dari tujuan perjuangannya, menjaga Marwah dan memberikan kesejahteraan bagi rakyat Aceh. Pada saat kakinya menyentuh kembali  tanah yang dibelanya, dia bersujud dan berkata “Saya telah kembali.” Sebelum wafat, Wali Hasan Tiro berpidato di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, dan sebanyak tiga kali dia mengulang wasiat “Jagalah Perdamaian Aceh, Jaga kedamaian, ini pintu menuju kesejahteraan.”

Rakyat Aceh yang saya muliakan,

Jikalah jabatan yang saya inginkan, jikalah kursi Gubernur yang saya dambakan, tentu saya tidak akan berbaris bersama seorang yang keras seperti Wali Hasan Tiro. Saya tentu memilih jalan lain yang lebih aman dan nyaman. Tapi disaat usia dan tubuh saya masih muda, saya memilih menjadi bagian dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Perjanjian damai Helsinki sudah kita sepakati dan disanalah seluruh pijakan perjuangan saya pertaruhkan. Termasuk menjaga amanah Sang Wali untuk menjaga perdamaian. Kekuasaan bagi saya adalah kehormatan menjaga sebuah janji yang dipegang teguh hingga nafas terakhir. Dari sana seluruh kesungguhan dan perjuangan politik saya tempatkan.

Bisa saudaraku bayangkan, menitik air mata ini, bersimbah bersama kenangan menemani almarhum. Sesaat sebelum saya harus menandatangani surat pengunduran diri saya dari Partai Aceh. Partai yang didirikan sebagai pelanjut perjuangan menuju rakyat Aceh yang bermartabat dan sejahtera. Tapi jalan itu saya tempuh, saya tidak sedih karena saya harus mundur, saya justru merasa kehormatan saya dicabut paksa, kehormatan untuk tetap berada didalam garis perjuangan. Seakan terusir dari rumah sendiri, saya bungkus semua bekal nilai perjuangan dan melangkah keluar pagar. Tapi saat saya palingkan wajah untuk terakhir kalinya, saya katakan sebagaimana Wali ketika kembali dan menginjakkan kaki di Pidie… “Saya Sudah Kembali!.”Benar saya mundur, tapi cita-cita dan jiwa saya masih tetap kokoh bersama merah hitam putihnya Partai Aceh.

Rakyat Aceh yang tidak pernah menyerah,

Saya mohonkan doa dan restu, ini sungguh bukan demi kekuasaan, bukan demi jabatan, apalagi demi harta kekayaan. Ini adalah garis yang harus saya ambil, permintaan saya hanya satu jangan rampas kehormatan saya, tidak ada yang lebih terhormat bagi saya, selain melihat cita-cita kesejahteraan dan marwah rakyat Aceh terwujud. Saya hanya ingin menjaga wasiat terakhir Wali Nanggroe Aceh, Paduka Yang Mulia Tengku Muhammad Hasan Ditiro untuk Menjaga Perdamaian. Salah satu yang bisa menjamin itu adalah Kursi Gubernur Aceh. Maka selagi nyawa saya masih bersemayam dan tubuh saya masih diberi kekuatan gerak. Maka tidak akan mundur, tidak akan surut dan tidak akan berhenti saya memastikan bahwa Kursi Aceh  Satu, tidak jatuh ketangan orang yang berpeluang membelokkan jalan perdamaian yang sudah kita rasakan bersama. Tidak akan pernah!

Sebelum saya kesini, saya bertemu dengan sejumlah ulama terkemuka di Aceh, saya minta restu dan pendapat. Mereka menguatkan saya, bahwa mengejar kekuasaan haruslah seperti AZAN, bergema lima waktu sehari, lantang dari masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, hingga surau-surau di pelosok Aceh. AZAN bukanlah paksaan, dia tidak menyuarakan hukuman bagi yang tidak memenuhi panggilan, begitulah kekuasaan harus kita kejar, menyeru secara konsisten tanpa kecewa jika kelak ternyata tidak lagi diinginkan rakyat. AZAN itu jugalah yang sampai ke telinga Saudara saya Nasaruddin, seorang tokoh dari Aceh Tengah, tergerak hati beliau, maka atas keihklasannya saya sepakat untuk mengikat janji, sebagai pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh Periode 2017-2022.

Rakyat Aceh yang saya cintai!

Selama perjalanan empat tahun terakhir ini tentu ada kekecewaan, tidak lain dan tidak bukan karena kealpaan saya sebagai Gubernur terpilih. Ini bukan apologi, tapi kenyataan bahwa antara teks dan konteks sering bersimpang jalan, banyak saya temui. Benar perdamaian telah kita teken, UU Pemerintahan Aceh telah disahkan oleh DPR-RI, Tapi itu barulah kesepakatan, belum menjadi kesepahaman. Butuh waktu untuk menjalin kesepahaman dalam menerjemahkan teks dari kesepakatan. Ini juga salah satu yang mendorong saya untuk kembali maju, untuk meneruskan apa yang tidak bisa saya penuhi di tahun-tahun kemarin, dan kembali mewujudkan apa yang kita bayangkan sebagai masa depan Aceh.

Kata AZAN sengaja saya dan Nasaruddin pilih, karena selain kedekatan singkatan nama Zaini Abdullah dan Nasaruddin, atau kadang agar dipaksakan untuk pas, maka ada yang menyebut Abu Zaini Abdullah dan Nasaruddin atau Aceh Zaini Abdullah dan Nasaruddin. Namun AZAN kami pilih karena tiga karakter yang kami harapkan melekat juga pada perjalanan kami berdua.

Rayat Aceh yang Marwahnya dijaga para Syuhada!

Karakter yang pertama adalah AZAN sebagai Seruan, semoga pasangan kami dan pendukung kami tidak hentinya menyerukan kebenaran dan kebajikan ke seluruh penjuru Aceh. Kami berharap pendukung kami bisa menjadi muadzin-muadzin yang senantiasa berseru dan mengajak setiap orang untuk menjaga perdamaian ini. Rencong telah disarungkan, Senjata sudah dimusnahkan, rasa marah sudah diredakan, maka saatnya hari-hari di masa damai ini kita isi dengan saling tolong menolong dan saling berbagi kebahagiaan terhadap sesama. Sudah lama kita hidup dalam air mata, sudah menjadi tugas kita untuk menjamin anak dan cucu kita kelak hidup dalam kehormatan dan kebahagiaan.

Kedua, AZAN adalah peringatan, ingatan akan waktu dan ingatan akan keberadaan kita dimuka bumi. Tidak henti rekaman masa konflik, detik demi detik perundingan di Helsinki, wajah syuhada-syuhada Aceh jua yang terbayang. Kepada mereka-lah perdamaian ini kita persembahkan, bahwa syahidnya mereka tidak sia-sia, karena kedamaian telah nyata di Aceh, anak dan isteri mereka tidak akan lagi merasa tidak aman dan terancam. Nama mereka akan menjadi diceritakan turun temurun, anak-cucu-cicit mereka bangga pada pengorbanan orang tua mereka.

Rakyat Aceh yang saya hormati,

Terakhir, AZAN adalah ajakan menuju kemenangan. Dalam tim pemenangan AZAN saya selalu ulangi, bahwa kemenangan yang kita maksud adalah terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur yang terbaik, tidak harus saya, siapapun yang akan terpilih kelak. Kemenangan adalah buah dari usaha, tidak ada kemenangan yang jatuh dari langit, kemenangan adalah hasil capaian, namun bukan keberakhiran. Kemenangan yang sempurna adalah kemenangan yang dirasakan oleh semua rakyat Aceh, yang menang tidak angkuh dan yang kalah tidak juga menyimpan dendam. Kondisi kemenangan seperti itulah yang kami inginkan.

Maka hari ini, dari halaman Hotel Atjeh, tempat bersejarah dimana Presiden RI Pertama, Ir Soekarno menerima sumbangan emas dari tangan rakyat Aceh, tempat dimana Tgk. Daud Beureueh mengumpulkan seluruh pengusaha Aceh hingga Republik Indonesia membeli pesawat kepresidenan pertama. Dari tempat yang sama saya tegaskan, bahwa AZAN akan selalu berkomitmen menjaga kesetiaan pada janji yang telah ditandatangani di Helsinki. Perdamaian adalah amanah Wali Nanggroe yang kami jaga dengan penuh kesungguhan. AZAN adalah sebuah gerakan untuk memastikan kemenangan siapapun kelak sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, adalah kemenangan bersama yang akan mendapatkan berkah. Bagi AZAN kekuasaan tidak untuk dijadikan alasan untuk bertikai satu sama lain. Harga perdamaian dan ketenangan hidup rakyat banyak adalah hal yang jauh lebih penting.

Terimakasih, saya akhiri pidato/surat/ pernyataan ini, mohon doa dan restu dari seluruh rakyat Aceh, bagi siapapun yang juga berniat ikut dalam kontestasi Pilkada tahun depan, mari jaga perdamaian, tidak ada pertikaian yang menghasilkan kemakmuran, pertikaian selalu dekat dengan kehancuran.

Udeep Beusare, Matee Beu Sajan, Sikrek Khafan, Saboeh Keurenda.

Haya-ala Al-Falaqh…Haya-ala Al-Falaqh… Haya-ala Al-Falaqh

Mari bangun Shaf AZAN…Bersama Meraih kemenangan!

 

Wassalamu Alaikum Wr.Wb

Kutaraja, 31 Juli 2016

 

Zaini Abdullah dan Nasaruddin

Related posts