Saksi fakta: Qanun RTRW bertentangan dengan UUPA

Rusak lahan gambut Rawa Tripa, GeRAM minta PT Kallista Alam segera ganti rugi
Aksi GeRAM di PN Jakarta Pusat, Kamis (21/1) (Dok. GeRAM)

Jakarta (KANALACEH.COM) – Saksi fakta pada sidang gugatan Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM) terhadap Mendagri, Gubernur Aceh, dan DPRA menyatakan Qanun RTRW Aceh bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

“Qanun RTRW Aceh bertentangan banyak peraturan perundangan-undangan termasuk UUPA,” ungkap TM Zulfikar, saksi fakta, yang dihadirkan ke persidangan gugatan GeRAM di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (23/8).

TM Zulfikar merupakan mantan Direktur Eksekutif Daerah Walhi Aceh. Selain TM Zulfikar, saksi fakta yang dihadirkan lainnya yakni Asnawi yang merupakan Imum Mukim Siem, Aceh Besar.

Selain UUPA, kata TM Zulfikar, Qanun Aceh Nomor Nomor 19 Tahun 2013 tentang RTRW juga bertentangan dengan undang-undang rencana tataruang wilayah nasional.

Menurut TM Zulfikar, aturan yang ditentang seperti pengelolaan kawasan. Dalam UUPA dijelaskan bahwa kawasan ekosistem, termasuk Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dikelola oleh Pemerintah Aceh.

“Namun, kenyataan Pemerintah Aceh mengabaikan perintah UUPA terkait pengelolaan kawasan ekosistem. Buktinya, nomenklatur KEL tidak dimasukkan dalam Qanun RTRW Aceh,” kata TM Zulfikar.

Dalam sidang tersebut, TM Zulfikar juga mengungkapkan qanun tersebut juga tidak mengatur dengan jelas terkait jalur evakuasi bencana. Serta pemanfaatan lahan oleh masyarakat maupun pihak lainnya.

“Ketika Qanun RTRW Aceh masih dalam proses  penyusunan, kami sudah menyampaikan upaya-upaya penyelamatan ekosistem, termasuk pengaturan jalur evakuasi bencana. Namun, upaya ini diabaikan,” tuturnya.

Imum Mukim Siem, Asnawi yang dihadirkan sebagai saksi fakta menegaskan kawasan hak kelola mukim yang diatur jelas dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tidak diakomodir.

“Kata mukim hanya ada di bagian pendahuluan qanun. Sedangkan di batang tubuhnya tidak ada. Hak kelola mukim tidak ada pengaturan lebih lanjut. Seharusnya ini ada, karena mukim menunjukan kekhususkan Aceh dibandingkan provinsi lain” ungkapnya.

Menurut Asnawi, tidak adanya nomenklatur yang mengatur mukim dalam Qanun RTRW Aceh, berpotensi terjadinya konflik lahan di tengah tengah masyarakat.

“Hal ini terjadi karena dalam penyusunan Qanun RTRW, partisipasi atau keterlibatan publik di dalamnya sangat kurang. Bahkan tidak ada sama sekali. Seharusnya, keterlibatan publik dalam menyusun sebuah peraturan daerah dibuka seluas-luasnya,” kata Asnawi.

Sementara itu, koordinator kuasa hukum GeRAM, Nurul Ikhsan menyatakan sidang dilanjutkan dua pekan mendatang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli.

“Kami berencana menghadirkan saksi ahli terkait dengan penataan ruang dan  Lingkungan Hidup pada sidang mendatang. Sidang selanjutnya dijadwalkan Selasa (6/9),” kata Nurul Ikhsan. [Sammy/rel]

Related posts