Sultan Manshur Syah, Pelopor Kebangkitan Aceh Abad XIX

Ibrahim Mansur Syah, Pelopor Kebangkitan Aceh Abad XIX
Makam Paduka Sri Sultan 'Alaiddin Manshur Syah bin Sultan Jauharul 'Alam Syah, Baperis, Banda Aceh. Foto: Mapesa Aceh

Untuk menancapkan kekuasaannya di pesisir Sumatera Timur, Belanda bergerak cepat, pada tahun 1863 M Belanda membuka perkebunan tembakau, Nienhuys di Deli. Saat itu Sultan Deli sudah mulai hidup dalam suasana yang lebih makmur dengan bantuan Belanda dan oleh karena itu dengan sendirinya merasakan kemajuan ekonomilah yang lebih penting.

Di sisi lain, Belanda terus mendesak Asahan yang dianggap masih keras kepala yang tetap setia kepada Sultan Aceh dan berharap agar diberi bantuan aktif dari Sultan Aceh untuk menghadapi serangan Belanda.

Dengan kelicikannya, Belanda menyebarkan berita palsu yang mana di tahun 1865 Belanda sudah siap untuk menyerang Aceh. Dengan berita palsu ini, Belanda mengharap akan berakibat kepada Aceh untuk memusatkan perhatiannya hanya di wilayah Aceh sendiri tanpa memperhatikan nasib Sumatera Timur dan Tamiang.

Seperti apa yang diharapkan oleh Belanda memperoleh hasilnya, dimana bantuan Aceh tidak pernah datang ketika Belanda telah memutuskan untuk menyerang Asahan dengan mengerahkan angkatan darat sekuat setengah batalyon infanteri, dengan staf 1 detasemen dari 1 perwira dengan 25 orang dari barisan meriam, dua Veldhouwitser dan dua mortir dari 12 jari, dua orang dokter opsir militer dan pegawai-pegawainya yang Sepanjang catatan resmi sumber Belanda, berjumlah 179 orang Belanda dan 227 orang “Bumi Putera”. Untuk kekuatan lautnya,Belanda memberangkatkan 5 buah kapal perang yaitu Kapal “Jambi”, “Amsterdam”, “Sindara”, “Montrada”, “Delfzijl” dan “Dassoon” serta kapal-kapal jaga lainnya yang ada di Riau. Kapal-kapal ini mengangkut 1500 prajurit laut dengan 80 meriam. Dalam rombongan ini juga turut dibawa 150 orang hukuman yang hendak digunakan oleh Belanda menjadi tameng dibaris depan.

Rombongan besar ini ditetapkan akan diberangkatkan tanggal 30 Agustus 1865, tanggal 3 September singgah di Riau, selanjutnya menuju ke Batu Bara dan tiba disana tanggal 12 September 1865 M. Karena kondisi pertahanan yang tidak begitu, akhirnya Batu Bara takluk.

Selanjutnya rombongan Belanda menuju ke Tanjung Balai (Ibukota Asahan). Penaklukan Asahan memakan waktu hingga 20 tahun. Di kemudian hari, Sultan Asahan, Ahmadsyah ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Tanjung Pinang. Bertahun-tahun dia diajak untuk kerjasama, namun ia menolaknya. Barulah sesudah sangat tua dan sesudah mengetahui bahwa Aceh pun sudah bertahun-tahun pula menghadapi sendiri agresi Belanda, Sultan Ahmadsyah bersedia menandatangani kontrak politik dengan Belanda pada tanggal 25 Maret 1885 M di Bengkalis. Beliaupun akhirnya ditabalkan kembali menjadi Sultan Asahan dengan upacara kehormatan.

Tidak lama setelah Asahan terpukul, Belanda segera mendatangkan kekuatannya ke Tamiang. Besarnya kekuatan Belanda dan pentingnya pertahanan Aceh dipusatkan ke ibukota mengakibatkan Pulau Kampai tidak mungkin untuk dipertahankan.

Beberapa minggu sebelum kedatangan militer Belanda di Pulau Kampai, Tuanku Hasyim (Tuanku Hasyim Banta Muda) telah pulang ke Aceh. Kekuatan di Pulau Kampai yang diwakilkan kepada Tuanku Hitam, hanya sanggup mengadakan perlawanan hanya beberapa hari. Akhirnya Tuanku Hitam menarik mundur pasukannya ke Air Masin (Maja Pahit) untuk kemudian melanjutkan peperangan secara gerilya.

Related posts