Melawan Jakarta di Pilkada Aceh 2017

Melawan Jakarta di Pilkada Aceh 2017
Ilustrasi Pilkada (okezone.com)

PERHELATAN pesta demokrasi di Aceh, yakni Pilkada 2017, masih akan berlangsung lebih kurang satu tahun kedepan. Namun euforia dan gempita masyarakat, kandidat, dan hampir semua stakeholder tersedot ke ajang pemilihan lima tahunan tersebut.

Diakhir tahun 2015, atau dua tahun menjelang Pilkada, beberapa nama muncul dan mendeklarasikan diri sebagai bakal calon Gubernur Aceh pada 2017 nanti, sebut saja diantaranya, Ketua umum Partai Aceh, Muzakir Manaf, lalu muncur Zakaria Saman, Tarmizi Karim, Irwandi Yusuf dan nama terakhir mencuat dan menjadi perhatian masyarakat adalah munculnya nama Zaini Abdullah, Gubernur Aceh saat ini yang menegaskan niatnya maju kembali pada bursa Pilkada 2017.

Dinamika politik terus bergerak, dan bandul politik Aceh mengalami lompatan-lompatan sangat cepat, dan tentu saja, partai politik sebagai instrumen demokrasi memainkan peran penting dalam pergerkan tersebut, misalnya saja kemunculan TM Nurlif, mantan anggota DPR RI dari Partai Golkar yang memenangkan perebutan kursi partai berlambang pohon beringin tersebut, juga menyatakan kenginannya untuk berpartisipasi sebagai kandidat calon gubernur.

Tentu saja, kesemua gerak politik tersebut, selaras dengan tujuan penting dari pembangunan demokrasi di Aceh, dan satu hal yang tak kalah penting, perjalanan demokratisasi di Aceh, memiliki dasar dan tujuan yang berbeda, dalam makna, tidak hanya sekedar menghasilkan pemimpin yang menjadi orang nomor satu di negeri berpenduduk 5 juta jiwa ini, tapi lebih daripada itu, Aceh butuh seorang yang mampu mengawal tujuan utama dari capaian perdamaian Aceh itu sendiri, yakni MoU Helsinki.

MoU Helsinki dan UUPA, adalah sejarah penting bagi perjalanan demokrasi di Aceh, dan landasan inilah yang membuat demokratisasi di Aceh itu berbeda dengan ditempat lain.

Kesadaran gerak rakyat dengan menjadikan MoU Helsiki dan UUPA sebagai landasan memilih pemimpin Aceh, sangat erat kaitannya dengan masa depan Aceh itu sendiri, sebab, tanpa hal tersebut, mustahil Aceh akan mampu mencapai cita-cita penting yang diamanatkan oleh para pendahulu yang gugur dalam mempertahankan idealisme akan masa depan Aceh yang gemilang.

Pemerintah pusat, dalam hal ini Jakarta, tentu sadar bahwa, banyak pekerjaan rumah yang belum mereka serahkan semuanya untuk Aceh, terutama sesuatu pernjanjian yang mengikat dan yang diatur dalam MoU Helsinki dan UUPA.

Ditambah lagi, dinamika politik di Aceh pasca konflik, dan dan kecurigaan serta kekhawatiran yang sangat kuat bahwa dinegeri ini masih ada semangat dan kehendak memisahkan diri, sebab itu, Pemerintah pusat menginginkan Gubernur Aceh adalah figur yang ‘taat’ dan ‘patuh’ pada kehendak dan keinginan politik nasional.

Sebab itu, Jakarta butuh Figur Proxy, atau kandidat yang secara politik mudah dikendalikan, dan tidak begitu mementingkan persoalan-persoalan politik kekinian di Aceh, seperti isu bendera, lambang, dan juga turunan UUPA lainnya.

Nah, jika mengacu pada aspek kesadaran bahwa Jakarta sedang ingin meremot atau mengendalikan pemimpin Aceh kedepan, maka saat ini yang dibutuhkan adalah kesadaran masyarakat, persatuan dan kesatuan rakyat untuk merapatkan barisan, dan secara benar-benar untuk memilih pemimpin yang mengerti garis dan arah perjuangan rakyat Aceh itu sendiri.

Dan begitu juga kepada para kandidat gubernur Aceh, untuk segera merapatkan barisan, dan kembali meneguhkan sikap bahwa, perjuangan rakyat Aceh belum berhenti, rakyat Aceh masih butuh figur yang secara ideologi memahami konteks sejarah terbentuknya demokrasi di Aceh pasaca perundingan damai, sebab tanpa itu, maka percayalah, pada Pilkada 2017, saat sesama kita bertarung, maka pemenang sesungguhnya adalah Jakarta. [Saky/red]

Related posts