Gubernur Aceh lanjutkan moratorium tambang?

Aksi gabungan dari beberapa LSM dan mahasiswa mengatasnamakan koalisi peduli tambang Aceh, meminta Gubernur Aceh melanjutkan moratorium tambang di depan Masjid Baiturahman Banda Aceh, Kamis (1/9). (Kanal Aceh/Randi)

*Oleh: Shaivannur

Proses penghadangan ekspansi modal perusahaan kapitalis saat ini sudah sangat sulit dilakukan, apalagi logika dalam sistem ekonomi kapitalisme berasumsi bahwa perkembangan ekonomi menjadi lebih baik bila peran pemerintah semakin kurang campur tangannya.

Hampir di semua provinsi Indonesia, dominasi perusahaan pengeruk dalam mengeksploitasi sumber daya alam kini telah mengabaikan aspek-aspek kelestarian lingkungan pada akhirnya alam akan mengalami degradasi secara besar-besaran.

Kondisi di Aceh juga sama, artinya setelah rekontruksi Tsunami dan perjanjian perdamaian RI-GAM yang menjadikan daerah aman, saat itu pula ekspansi perusahaan yang menggerogoti sumberdaya alam gencar melakukan investasi ke kawasan-kawasan hutan alam. Sebelumnya Aceh masih dikatagorikan sebagai daerah 64% hijau, selebihnya daratan.

Setelah gemburan perusahaan-perusahaan pengeruk ke Aceh, banyak kawasan hutan alam mengalami penyusutan ditandai dengan kerusakan hutan atau deforestasi akibat buruknya tata kelola kehutanan dan aktivitas ilegal di Aceh selama sembilan tahun terakhir mencapai 290 ribu hektare lebih. Artinya, laju deforestasi di Aceh mencapai 32 ribu hektare per tahun atau sebesar 1 % per tahun.

Hal tersebut disampaikan oleh Agung dari bagian GIS Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) dalam acara buka puasa bersama dan media briefing di Banda Aceh 27 Juni 2016. HAkA mencatat luas hutan Aceh pada tahun 2006 seluas 3,34 juta hektare, namun kini tersisa seluas 3,050 juta hectare (Transparency International, 30/06/2016). Ini merupakan kerugian yang sangat besar terhadap Aceh, karena kita telah memainkan logika pendek dan telah menggadaikan sumberdaya hutan hingga terjadi degradasi secara besar-besaran.

Beberapa minggu yang lalu saya pernah menuliskan subuah artikel di salah satu surat kabar Jawa Tengah, di situ saya membentuk narasi baru yang mencoba menjelaskan kejahatan perusahaan yang mehindari pajak. Di Indonesia, sebanyak 2.000 perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) yang dimaksud adalah tidak membayar pajak penghasilan badan, pasal 25 dan pasal 29, sedangkan di Aceh saat ini hutang perusahaan tambang cukup besar.

Banyak perusahaan tambang yang tersebar di 14 kabupaten/kota masih menunggak pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) dengan jumlah total mencapai Rp 41 miliar (Ajnn 12/10/2016).

Melihat kondisi tersebut sebenarnya Gubernur Aceh, Zaini Abdullah telah menenerbitkan Instruksi Gubernur Nomor 11/INSTR/2014 tentang Moratorium Izin Usaha Pertambangan, yang akhirnya mampu menyelamatkan hutan alam hingga 2.300 juta hektar lebih hutan yang berhasil diselamatkan selama moratorium pertambangan itu berlangsung.

Dampak Positif

Di Aceh, dampak positif yang terasa nantinya dengan adanya pemberlakuan moratorium adalah banyak habitat satwa liar tidak terganggu lagi, harmoni ekosistem hutan terjaga, dan konflik antara manusia dengan satwa berkurang. Pun perusahaan pengeruk juga bisa memilimalisir sehingga banyak kawasan-kawasan hutan terlindungi.

Selain itu, jika ada perusahaan tambang, HPH dan pemodal lainnya yang akan menghabiskan izin, maka mereka akan berpotensi tidak lagi diperpanjang izin konsesi. Pemerintah Aceh juga telah menyelamatkan sekitar 266 ribu hektare hutan yang hendak dijadikan lokasi pertambangan mineral dan batubara, ini merupakan pencapaian yang bagus.

Sukses menertibkan pertambangan bermasalah di Provinsi Aceh melalui Instruksi Gubernur Nomor 11/INSTR/2014 tentang Moratorium Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam dan Batubara, Pemerintah Aceh memastikan kembali melanjutkan moratorium pertambangan tersebut.

Tercatat, 2007 hingga 2014, jumlah izin usaha pertambangan (IUP) di Aceh mencapai 138 izin. Sejak moratorium dan evaluasi tambang diberlakukan, pada 2016, jumlah IUP tersisa hanya 46 izin. Sebagian besar izin pertambangan dicabut karena berada di hutan lindung, juga di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dan Ulu Masen.

Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, memastikan moratorium tambang tahap ke dua akan dilanjutkan, namun berapa lama pemberlakuannya masih dalam kajian. Menurutnya, langkah ini demi pengelolaan sumber daya alam berbasis lingkungan dan berkeadilan masyarakat. 30 Oktober 2014, moratorium pertama yang berlaku dua tahun itu, berhasil mencabut 92 IUP bermasalah, jelas Zaini kepada (Mongabay Indonesia, 10/09/2016).

Moratorium dan evaluasi izin usaha pertambangan telah dilakukan selain untuk menertibkan pertambangan bermasalah juga untuk mewarisi lingkungan yang sehat dan alam yang baik untuk generasi mendatang. Tujuan dilakukan moratorium ini agar hutan terjaga dari perusakan yang berlebihan.

Pada masa Orde Baru yang menjadikan hutan sebagai peningkatan ekonomi dengan memanfaatan kayu log, kini telah dihentikan dengan adanya kebijakan itu dan diharapkan berkelanjutan untuk melahirkan kebijakan-kebijakan lainnya yang merespon kondisi hutan saat ini. Keberhasilan ini akan menjadi pedoman bahwa jika pemerintah komitmen dalam hal pembangunan berkelanjutan di sektor kehutanan, dengan melahirkan kebijakan yang peduli akan keberlangsungan hutan sehingga para masyarakat akan dapat merasakan secara rill dampak dari kebijakan tersebut.

Terakhir dari penulis, saran yang cukup mendalam adalah lanjutkan moratorium tambang sebelum meninggalkan kursi kepemimpinan, dan kepada setiap pembaca tulisan ini berharap agar slektif dalam memilih calon pemimpin. Dan janga memilih pemimpin-pemimpin yang menempel poster di pohon-pohon karena itu merupakan bentuk ketika cintanya terhadap lingkungan.

*Penulis merupakan alumnus Ilmu Politik, FISIP Unsyiah

Related posts