Mengembalikan sisi humanis profesi Dokter

dr.Teuku Yusriadi. (ist)

(KANALACEH.COM) – DOKTER, tak pernah mendapat sebutan pahlawan tanpa tanda jasa layaknya seorang guru, namun dokter merupakan sosok pejuang kemanusiaan yang mengedepankan prinsip “humanism”. Apa yang membuat jadi dokter itu menarik dan dijadikan sebagai profesi? Salah satunya mungkin karena selalu ada hal yang tak tuntas dipahami, ada hal yang membuat kita terus berpikir, berusaha memecahkan masalah, sampai akhirnya menemukan jawaban.

Ketika kita masih kecil, bila ditanya oleh guru di sekolah : “Apa cita-citamu kelak?” Tentu sebagian dari kita akan menjawab, “Mau jadi Dokter!”. Dahulu orang yang menyandang profesi dokter akan dipandang sebagai sosok mulia, memiliki akhlak budi pekerti baik, berjiwa sosial serta dapat menyembuhkan penyakit. Akan tetapi di zaman modern ini, keberadaan seorang dokter hanya lebih dipandang sebagai profesi yang cenderung bekerja dengan pamrih.

Dalam buku yang berjudul “Doctor: The Ordinary Me“, digambarkan adanya fenomena ketidakpuasan masyarakat terhadap dokter dan ketidakpedulian pemerintah terhadap profesi ini. Kebanyakan dokter meyakini ilmu kedokteran hanya berfokus pada masalah penyakit, namun minim perhatian terhadap hal – hal sosial kemasyarakatan. Hal inilah yang menjadikan profesi dokter seolah – olah terkesan “ekslusive” dan “elite” di masyarakat.

Padahal, selain melakukan intervensi fisik, seorang dokter ideal semestinya juga berperan dalam intervensi moral dan sosial di tengah masyarakat sebagaimana pernah dilakukan oleh para pendahulu kita perintis pergerakan kebangkitan nasional. Seperti, Budi Oetomo, Wahidin Sudirohusodo, dll. Mereka berprofesi sebagai dokter, dan turut aktif memberikan sumbangsihnya terhadap pembangunan dan sosial kemasyarakatan serta dapat menyatu dekat dengan rakyat.

Para dokter seharusnya menerapkan trias fungsi, yaitu dokter dituntut mampu berperan sebagai agen perubahan (agent of change), agen pembangunan (agent of development), dan agen pengobatan (agent of treatment). Sehingga seorang yang berprofesi dokter memiliki peran ganda “multi tasking” atau di dalam artikel ini saya sebut sebagai dokter yang “pandai – pandai”.

Pengertian “dokter pandai – pandai” jangan dibayangkan sebagai suatu konotasi negatif, namun maksudnya adalah seorang dokter yang telah terjun ke masyarakat diibaratkan harus mampu beradaptasi melihat kondisi dan tatanan etika yang berlaku di suatu komunitas masyarakat. Dokter harus “pandai-pandai” membaca situasi. Seperti kata pepatah ‘lain padang, lain belalang’ bermakna lain tempat dan lokasi maka akan lain pula kultur dan kebiasaan masyarakatnya. Seorang dokter harus mempelajari pendekatan humanistik dan kultural (cara bergaul, berbicara, adat istiadat dan kebiasaan masyarakat daerah setempat), bersikap profesional dan beretika. Sehingga setiap gerak – gerik sang dokter dapat diterima oleh komunitas dan menjadi suatu bagian yang tak terpisahkan dalam masyarakat. Untuk itu dokter sebaiknya tidak statis hanya bekerja di lingkungan rumah sakit saja, namun justru harus ikut terlibat dalam aktivitas sosial kemasyarakatan. Inilah sebagai salah satu strategi penerapan sisi humanis profesi dokter yang “pandai – pandai”.

Ilmu pengetahuan kedokteran berkembang sangat dinamis. Karena itu seorang dokter harus terus memperkaya diri dengan pengetahuan baru dan cukup rendah hati untuk mengakui keterbatasan pengetahuan yang dikuasainya. Setiap pasien adalah guru dan pengalaman spesial. Mereka tak bisa sepenuhnya diringkas dalam satu buku saku pengobatan.

Pasien tidak bisa digeneralisir, dianggap selalu sama dan sebangun seperti pasien-pasien sebelumnya dengan penyakit yang sama. Mereka adalah semesta dengan kisahnya masing-masing. Kompetensi dokter tidak hanya kemampuan menegakkan diagnosis dan menetapkan prosedur pengobatan yang tepat saja, akan tetapi kompetensi profesionalisme dan etika serta kemampuan menjalin komunikasi dengan pasien merupakan unsur yang harus tetap diasah dan ditingkatkan.

Saat seorang pasien datang berobat, maka sang dokter akan melakukan satu hal, yaitu “berpikir”, yaitu menautkan satu kepingan informasi dengan kepingan informasi lain yang ditemukan saat anamnesis, menganalisa, melakukan pemeriksaan fisik bahkan bila dibutuhkan dilakukannya pemeriksaan penunjang untuk mendukung suatu penegakan diagnosis penyakit dan memilih terapi dan tatalaksana yang paling sesuai. Si dokter akan mempertimbangkan segala keadaan. Kemampuan tersebut tidaklah diperoleh secara instan dalam sekejap.

Orang tidak bisa menjadi dokter hanya dengan tahu isi formularium obat, tahu farmakologi dan farmakokinetiknya tanpa pernah belajar merawat, mengikuti perkembangan pasien di bangsal rumah sakit dengan masa studi yang cukup lama. Manusia bukan hanya kumpulan organ, dan karena itu pasien bukanlah kumpulan organ yang sakit. Di luar faktor fisiknya pasien, seperti halnya juga dokter, sebagai makhluk yang dikaruniai kecerdasan, akal budi, dan spiritualitas.

Profesi dokter, adalah profesi yang sangat mulia. Banyak halangan dan rintangan terjal yang harus dilalui. Pengorbanan oleh orang – orang di profesi ini sungguh tangguh dan luar biasa. Fenomena saat ini, dokter lah yang mampu bersabar menjadi tumbal pemerintah, yang tidak sadar bahwa pengobatan murah untuk rakyat itu harusnya dicapai dengan mensubsidi honor tenaga kesehatan, bukan menginjak-injaknya jasa medis jadi serendah mungkin dan kemudian setelah ditunggak lama masih dibayar sebagiannya saja.

Hanya sedikit orang, yang mampu ikhlas menerima tudingan malpraktik atas profesinya, meskipun tidak ada yang pernah tahu seberapa berat sang dokter bekerja tanpa tidur, sebelum akhirnya dia melakukan kesalahan yang mungkin sebenarnya manusiawi untuk seorang manusia biasa yang juga bisa lelah. Orang yang mengemban profesi ini mampu menahan keletihannya setelah bekerja dan tetap mau dibangunkan tengah malam untuk menangani pasien darurat.

Dokter mampu bersabar saat menerima pasien, yang mungkin sudah membayar berpuluh-puluh atau bahkan ratusan juta ke pabrik rokok untuk membeli penyakit, tapi tidak mau mengeluarkan sepeser pun untuk membayar pengobatan, malah menuduh dokter itu adalah makhluk penghisap darah yang mencari keuntungan dari penderitaan orang lain, tanpa sadar pihak mana yang sebenarnya mengambil keuntungan dan membuat dia sakit seperti itu. Jadi bila anda memutuskan ingin bergelut di profesi ini, pastikan anda mampu menerima semua konsekuensi itu tanpa mengeluh.

Organisasi WHO sebagai lembaga kesehatan dunia telah lama mengampanyekan “The Five Stars Doctor” yaitu kemampuan dokter sebagai pemimpin masyarakat (community leader), memiliki kemampuan komunikasi yang baik (communicator), mampu mengelola (manajer), pengambil keputusan yang andal (decision maker) dan penyedia layanan (care provider). Inilah hakikat profesi ini, dimana dokter sebagai salah satu komponen yang berperan penting menyukseskan pembangunan suatu bangsa.

Setiap merayakan Hari Ulang Tahun IDI, tidak lekang memori kita untuk mengingat peristiwa dan sejarah 66 tahun lalu (24 Oktober 1950), bagaimana para tokoh pendahulu yang humanis, berintegritas, berjiwa sosial dan menjunjung tinggi semangat kebangkitan dan pergerakan. IDI sebagai organisasi profesi bagi dokter di seluruh wilayah Indonesia seperti yang termaktub dalam Undang-Undang Praktek Kedokteran No.29 tahun 2004 bertujuan memadukan segenap potensi dokter dari seluruh Indonesia, menjaga dan meningkatkan harkat dan martabat serta kehormatan profesi kedokteran, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, serta meningkatkan kesehatan rakyat Indonesia untuk menuju masyarakat sehat dan sejahtera.

Melalui refleksi hari jadi IDI ke 66, mari kita kembalikan khittah profesi dokter ini sebagai bahagian pembangunan kesehatan masyarakat dan bangsa melalui sisi humanis, beretika, dan profesional. Semoga profesi yang mulia ini tetap menjadi panutan masyarakat, tidak menjadi profesi “dokter-dokteran” dikemudian hari. Selamat hari jadi dokter yang ke 66 !!!. []

 

*dr.Teuku Yusriadi

Penulis berprofesi sebagai dokter.

(Refleksi Hari Ulang Tahun Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ke 66 Tanggal 24 Oktober 2016)

 

Related posts