Kisah bayi-bayi yang “disembunyikan” di Cina

ilustrasi. (bbc)

(KANALACEH.COM) – Orang-orang yang bersembunyi dari pihak berwajib jarang bersedia untuk diwawancarai oleh media, apalagi di Cina.

Tapi setelah serangkaian panggilan telepon, saya bertemu seorang pria yang sangat cemas dan gugup namun ingin menceritakan kisahnya. Dia bukanlah seorang kriminal, pelarian, atau seseorang yang membocorkan rahasia pemerintah.

Namun dia melakukan perbuatan yang kurang baik, yang di bagian dunia lain justru merupakan sesuatu yang menggembirakan dan membanggakan. Dia dan keluarganya bersembunyi karena alasan sederhana, yaitu istrinya baru saja melahirkan anak ketiga mereka.

“Bayi ketiga tidak diperbolehkan,” katanya kepada saya, “jadi kami menyewa sebuah rumah jauh dari desa kami.”

“Pemerintah lokal melakukan tes kehamilan sekali setiap tiga bulan. Jika kami tidak bersembunyi, maka mereka akan memaksa kami untuk melakukan aborsi.”

Tahun lalu, pada pekan ketiga Oktober, Cina mengumumkan perubahan atas peraturan yang mungkin menjadi simbol yang paling terkenal dari Partai Komunis, yaitu menghapuskan kebijakan satu anak. Peraturan tersebut diganti dengan kebijakan dua anak, yang resmi dimulai pada tanggal 1 Januari 2016.

Kebijakan satu anak yang diperkenalkan pada 1979 untuk menangani krisis ledakan penduduk, menurut perkiraan pemerintah, berhasil mencegah angka kelahiran hingga 400 juta, walau sebagian melalui aborsi paksa dan sterilisasi.

Jadi tidak mengherankan jika kebijakan yang lebih longgar terhadap jumlah anak -dari satu menjadi dua anak- tak langsung mengurangi ketakutan pada siapa saja yang gagal menjalani peraturan baru tersebut.

Setahun setelah penerapan kebijakan dua anak, kami melakukan investigasi tentang bagaimana sebenarnya arti kebijakan baru dalam praktiknya. Seperti yang telah kami temukan, kebrutalan dan pemaksaan masih dilakukan aparat pemerintah Cina untuk mengontrol hak atas rahim wanita.

Di sebuah daerah kelabu di Cina bagian timur, tanpa diundang saya berjalan menuju salah satu pusat keluarga berencana yang terkenal reputasi buruknya. Di bangunan lapuk tak terpelihara tersebut ada dua kamar ultrasonik (USG) dan tiga kamar operasi.

Ketika saya bertanya pada salah seorang pejabat senior yang bertugas apakah kamar operasi tersebut sudah pernah digunakan untuk melakukan aborsi paksa, dia diam saja. “Sangat jarang,” akhirnya dia menjawab sebelum bersikeras bahwa aborsi paksa tidak pernah dilakukan ‘setidaknya dalam 10 tahun’.

Di mana di dunia Anda akan menemukan seorang pejabat pemerintah yang mengakui bahwa rekan-rekan kerjanya telah menculik, membius, dan dengan paksa mengoperasi wanita, tidak peduli berapa tahun yang lalu?

Pejabat tersebut memberi tahu saya bahwa di daerahnya -di bawah kebijakan baru dua anak- seluruh wanita dalam usia produktif diharuskan untuk melaporkan tes USG dua kali setiap tahun. Mereka yang diketahui hamil anak ketiga ‘akan diberi nasihat’, katanya.

Untuk mendapatkan kenyataan yang lebih luas, saya meminta seorang rekan perempuan untuk menelepon pusat keluarga berencana secara acak. Dengan berpura-pura sebagai seorang ibu hamil anak ketiga tapi ingin tetap meneruskan kehamilan, dia bertanya kepada petugas-petugas tentang pilihan apa saja yang tersedia.

Berdasarkan hukum Cina satu-satunya sanksi legal yang tersedia terhadap wanita yang melanggar hukum keluarga berencana adalah denda besar.

Dan -sebagaimana yang dijelaskan oleh semua petugas yang berbicara dengan kami lewat telepon- perubahan dalam kebijakan dari satu menjadi dua anak tetap memberlakukan denda.

Denda yang dipungut 10 kali dari penghasilan rata-rata tahunan itu sering kali cukup untuk membuat mereka berpikir ulang untuk melanjutkan kehamilan.

Tapi riset kami menunjukkan para petugas bertindak lebih jauh, yaitu dengan terlibat dalam kunjungan rumah untuk tujuan ‘membujuk’ para wanita melakukan aborsi.

“Jika Anda melaporkan kepada kami, lalu kami akan menemukan Anda dan akan membujuk Anda untuk tidak melahirkan bayi tersebut,” kata salah satu dari mereka.

“Kami pasti akan menemukan Anda dan membujuk Anda melakukan aborsi,” kata yang lain.

Waktu ditanya apakah ‘ibu’ (rekan kami yang berpura-pura tadi) akan menghadapi paksaan fisik dan bukan hanya bujukan yang bertubi-tubi, seorang pejabat mengatakan bahwa kemungkinan itu ada ‘secara prinsi.’

Dan saat ditanya jika seorang wanita bisa meneruskan kehamilan dan membayar dendanya, seorang pejabat lainnya menukas, “Tidak. Tidak bisa.”

“Jika Anda ingin melahirkan bayi Anda, silakan saja,” kata salah satu orang, meskipun dia masih menekankan bahwa denda harus dibayar. Survey kami tidak ilmiah tentunya, tapi memberikan pandangan sekilas terhadap sistem yang tetap kaku dan dogmatis di Cina. [BBC]

 

Related posts