Kepemimpinan partisipatif pembangunan pelabuhan bebas Sabang

Pelabuhan bebas Sabang. (Wikipedia)

Oleh: Samsul Bahri

PULAU Weh atau Kota Sabang adalah daratan kepulauan yang terletak di ujung barat Pulau Sumatera. Berdasarkan data Badan Stastistik Kota Sabang, jumlah penduduk lebih kurang dari 30.653 jiwa pada tahun 2015.

Sejarah kejayaan Sabang telah sirna seiring dengan berkembangnya peradaban kehidupan manusia. Masa lalu merupakan kenangan dan pengalaman yang tak ternilai harganya. Kejayaan Sabang pernah terukir dalam sejarah kehidupan masyarakat Aceh, khususnya orang Sabang.

Histori kejayaan Sabang sampai saat ini masih melegenda pada generasi sekarang dan akan terus menjadi lembaran histori masa lalu kejayaan Sabang pada generasi berikutnya.

Berdasarkan cacatan yang tersimpan di Wikipedia, sejarah Kota Sabang sebelum terjadi Perang Dunia II adalah kota pelabuhan terpenting dibandingkan Temasek yang lebih dikenal dengan negara Singapura sekarang. Pada masa penjajahan kolonia Belanda, Kota Sabang telah dikenal luas sebagai pelabuhan alam bernama Kolen Station sejak tahun 1881.

Pada tahun 1887, Firma Delange dibantu Sabang Haven memperoleh kewenangan menambah pembangunan fasilitas dan sarana penunjang pelabuhan. Era pelabuhan bebas Sabang dimulai pada tahun 1895, dikenal dengan istilah Vrij Haven dan dikelola Maatschaappij Zeehaven en Kolen Station yang selanjutnya dikenal dengan nama Sabang Maatschaappij.

Pecahnya Perang Dunia II ikut mempengaruhui kondisi perdagangan di Kota Sabang. Dimana pada tahun 1942 pasukan Jepang berhasil menduduki Sabang, kemudian terjadi pengeboman dahsyat yang menghancurkan semua fasilitas pelabuhan bebas Sabang yang telah terbangun sebelumnya.

Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, Sabang menjadi pusat pertahanan Angkatan Laut Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan wewenang penuh dari pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertahanan RIS Nomor 9/MP/50.

Semua aset pelabuhan Sabang Maatschaappij dibeli Pemerintah Indonesia. Kemudian pada tahun 1965 dibentuk pemerintahan Kotapraja Sabang berdasarkan UU nomor 10/1965 dan dirintisnya gagasan awal untuk membuka kembali sebagai Pelabuhan Bebas dan Kawasan Perdagangan Bebas.

Gagasan itu kemudian diwujudkan dengan terbitnya UU nomor 3/1970 tentang Perdagangan Bebas Sabang dan UU nomor 4/1970 tentang ditetapkannya Sabang sebagai Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.

Selanjutnya, atas alasan pembukaan Pulau Batam sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Sabang terpaksa dimatikan berdasarkan UU nomor 10/1985.

Kemudian pada tahun 1993 dibentuk Kerja Sama Ekonomi Regional Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) yang membuat Sabang sangat strategis dalam pengembangan ekonomi di kawasan Asia Selatan.

Pada tahun 1997 di Pantai Gapang, Sabang, berlangsung Jambore Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) yang diprakarsai BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dengan fokus kajian ingin mengembangkan kembali Sabang.

Disusul kemudian pada tahun 1998 Kota Sabang dan Kecamatan Pulo Aceh dijadikan sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) yang bersama-sama KAPET lainnya, diresmikan oleh Presiden BJ Habibie dengan Keppes nomor 171 tahun 1998 pada tanggal 28 September 1998.

Era baru Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas kembali diterpa angin surga, ketika memasuki tahun 2000. Penetapan Sabang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas ditetapkan oleh Presiden RI, Abdurrahman Wahid (Gusdur) di Sabang dengan diterbitkannya Inpres nomor 2 tahun 2000 pada tanggal 22 Januari 2000.

Dan kemudian diterbitkannya Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang nomor 2 tahun 2000 tanggal 1 September 2000 selanjutnya disahkan menjadi Undang-Undang nomor 37 tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.

Namun lagi-lagi berbagai kebijakan pemerintah pusat yang membuat Kawasan Pelabuhan Sabang mati suri hingga saat ini, sehingga terlihat bahwa perjalanan pembangunan Sabang seperti jalan di tempat.

Pembangunan Partisipatif

Rentan waktu perjalanan sejarah Pelabuhan Bebas Sabang pada masa kolonia penjajahan Belanda hingga memasuki abad 21 belum mampu memberikan capaian yang pernah diraih pada masa lampau. Salah satu letak permasalahannya adalah pada proses perencanaan pembangunan yang kurang memenuhi rasa partisipatif.

Pemenuhan partisipatif sesungguhnya lahir dari sikap kepemimpinan yang partisipatif, artinya peran utama masyarakat dalam memberikan andil bagi pembangunan menjadi perhatian pemerintah (pemimpin) secara sungguh-sungguh sebagai cara dalam mewujudkan kesejahteraan yang lebih berpihak kepada kerakyatan.

Berbicara konsep pembangunan melalui kepemimpinan partisipatif yang direncanakan, tidak terlepas dengan kebijakan pada arah pembangunan secara menyeluruh sampai ke tingkat provinsi. Desentralisasi memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk leluasa dalam menyelenggarakan pemerintahan daerahnya sendiri melalui udang-undang otonomi khusus.

Pemerintah daerah mempunyai kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintah yang sangat luas dan utuh. Luas artinya pemerintah daerah menyelenggarakan semua urusan sesuai dengan potensi yang dimilikinya tanpa campur tangan dari pemerintah pusat.

Utuh dalam arti pemerintah daerah diberikan kepercayaan penuh untuk mengatur dan mengurus semua urusan yang menjadi kewenangannya tersebut, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Perencanaan partisipatif saat ini terdukung dengan adanya otonomi daerah. Salah satu upaya pemerintah daerah dapat mewujudkan perencanaan partisipatif adalah dengan perencanaan pembangunan melalui Musrenbang (musrawarah perencanaan pembangunan).

Musrenbang yang dilaksanakan dengan melibatkan aparatur desa pada tingkat kelurahan hingga tingkat provinsi. Namun kendala-kendala lazim kembali terjadi pada tahap aplikasi pembangunan. Sebenarnya pemerintah pada tingkat kota dan provinsi dapat melaksanakan programnya secara buttom-up planning berdasarkan kebutuhan masyarakat yang telah didata dengan memperhatikan skala prioritas pembangunan pada tingkat desa maupun kelurahan.

Melihat arah perencanaan pembangunan yang selama ini diselenggarakan oleh pemerintah Kota Sabang lebih menganut pada prinsip pendekatan pembangunan dari atas ke bawah sehingga keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan belum mampu menampung segala kebutuhan dan aspirasi masyarakat umum secara menyeluruh.

Melalui Badan Pengelolaan Kawasan Bebas Sabang (BPKS) dengan segala kewenangannya, seharusnya pemerintah Kota Sabang dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang luas dan dituntut mampu membuat perencanaan pembangunan secara mandiri berdasarkan kebutuhan masyarakat secara lebih partisipatif.

Perencanan yang melibatkan partisipasi masyarakat seperti ini dilakukan dengan perencanaan pembangunan pasrtisipatif. Dimana segala kebutuhan dan kesesuaian pembangunan terlahir dari aspirasi masyarakat, bukan sebaliknya yang berdasarkan keinginan para pengambil kebijakan diatas. Kalau tidak, maka pada akhirnya kebutuhan skala priotias utama yang memang dibutuhkan oleh masyarakat menjadi terabaikan.

*Penulis adalah pemerhati pembangunan Sabang dan merupakan Mahasiswa Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) Prodi Teknologi Perikanan Laut. Email: [email protected]

Related posts