Myanmar diduga sembunyi di balik prinsip ASEAN

Konflik Rakhine, puncak gunung es diskriminasi Myanmar
Pengungsi Rohingya. (Arrahma.com)

Jakarta (KANALACEH.COM) – Penggagas Komunitas Kebijakan Luar Negeri Indonesia (FPCI), Dino Patti Djalal, mengkritik sikap Myanmar yang dianggap kerap menjadikan prinsip non-intervensi ASEAN sebagai tameng agar komunitas kawasan Asia Tenggara itu tak mencampuri masalah yang menimpa kaum minoritas Muslim Rohingya di negara itu.

“Saya kira, Myanmar terlalu sensitif dengan masalah ini. Ini kan sekarang masalah regional. Jika ada orang Rohingya yang tertindas atau terlantar, imbasnya ke negara-negara tetangga, jadi menurut saya tidak perlu terlalu sensitif mengenai hal ini. Jangan berlindung di balik non-intervensi ini,” ujar Dino setelah menghadiri acara diskusi publik di Jakarta, Selasa (6/12).

Dino lantas menjabarkan bahwa isu internal ini dapat merembet menjadi masalah kawasan karena semakin banyak warga Rohingya yang melarikan diri dari penindasan di Myanmar dan mencari suaka ke negara lain. Mereka kemudian terdampar di sejumlah negara Asia Tenggara dan lambat laun membawa masalah tersendiri di tempat tersebut.

“Sekali lagi ini menunjukkan bahwa walaupun masalah internal, tapi ini sudah masalah regional. Jika ini terus berlanjut, bisa menimbulkan masalah keamanan dan politik yang berkepanjangan dan juga bisa memengaruhi ASEAN,” kata mantan Duta Besar RI untuk Amerika Serikat itu.

Agar Myanmar tak terus berlindung di balik alasan tersebut, Dino mendesak agar ASEAN segera menghapuskan prinsip itu. Menurutnya, prinsip yang tercantum dalam Piagam ASEAN itu sudah tidak relevan dengan situasi di kawasan saat ini.

“Harus (dihapus). ASEAN sekarang harus berbeda dengan ASEAN pada 1967. Dulu, waktu ada genosida di Kamboja, yang lain diam. Itu saya rasa, bukan ASEAN yang sekarang. Jadi, jika ada komunitas di ASEAN yang sengsara, yang terlanggar haknya, saya kira itu harus menjadi perhatian ASEAN,” ucap Dino.

Langkah penghapusan prinsip ini dianggap lebih baik ketimbang gagasan untuk mengeluarkan Myanmar dari ASEAN, seperti yang dilontarkan oleh Menteri Pemuda dan Olahraga Malaysia, Khairy Jamaluddin.

Diberitakan Bangkok Post, Khairy mengatakan bahwa keanggotaan Myanmar di ASEAN harus ditinjau kembali. Menurutnya, Myanmar telah melakukan “pembersihan etnis” terhadap kaum minoritas Muslim Rohingya.
Berselang beberapa hari, Kementerian Luar Negeri Malaysia pun merilis pernyataan resmi yang mengatakan bahwa kekerasan dan pembunuhan terhadap Rohingya di Myanmar selama ini merupakan tindakan “pemusnahan etnis.”

Sebagai bentuk protes terhadap Myanmar, Malaysia pun sempat menggelar aksi unjuk rasa solidaritas membela etnis Muslim Rohingya pada Minggu (4/12). Aksi itu bahkan dihadiri oleh Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak.

Najib memang sangat lantang menyuarakan kritik terhadap pemerintah Myanmar dalam mengatasi kekerasan terhadap Rohingya. Ia sendiri mengaku sudah memerintahkan Menteri Luar Negeri Malaysia, Anifah Aman, untuk bertemu dengan Penasihat Negara Myanmar, Aung San Suu Kyi.

Namun menurut Najib, ajakan bertemu dari Anifah ditolak oleh Suu Kyi. Najib mengatakan, Suu Kyi hanya ingin bertemu jika membahas masalah bilateral dan tak menyinggung isu Rohingya.

Sementara itu, Suu Kyi sendiri dijadwalkan bertemu dengan Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, di Myanmar pada malam ini. Dino berharap, Indonesia dapat memanfaatkan kepercayaan Myanmar terhadap Indonesia untuk mengimbau agar negara itu dapat menyelesaikan masalah Rohingya dengan baik.

“Pertama, tentu harus mendengarkan. Lalu kemudian, sampaikan imbauan bahwa hal ini perlu ditangani oleh pemerintah. Jangan alergi terhadap Rohingya karena selama ini masih ada kesan begitu. Harus proaktif, jangan lepas tangan karena nanti negara tetangganya yang terkena imbas,” kata Dino.

Isu mengenai kekerasan terhadap Rohingya di Myanmar kembali mencuat setelah insiden penyerangan pos pengamanan di tiga wilayah perbatasan Myanmar oleh sejumlah kelompok bersenjata pada 9 Oktober lalu. Pemerintah Myanmar menuding “teroris Rohingya” berada di balik serangan itu, meski belum ada bukti konkret.

Sejak penyerangan itu, militer Myanmar meningkatkan pengawasan ketat dengan melakukan “operasi pembersihan” di wilayah Rakhine. Alih-alih memburu para pelaku penyerangan, militer Myanmar diduga malah menyerang etnis Rohingya secara membabi-buta.

Reuters melaporkan setidaknya 86 warga tewas dan 30 ribu lainnya melarikan diri akibat serangkaian aksi kekerasan militer terhadap Rohingya di Rakhine sejak Oktober lalu. Lebih dari 1.000 rumah warga Rohingya di lima desa negara bagian Rakhine hangus terbakar karena serangan militer.

Kekerasan sejak awal Oktober ini merupakan insiden berdarah terparah sejak bentrokan antara umat Buddha dan etnis minoritas Muslim Rohinya yang terjadi pada 2012 lalu. Insiden itu menewaskan ratusan orang. [CNN]

Related posts