Polemik UU Pemilu, Pengamat: Kalau mau disidangkan, KIP Aceh yang menggugat

Seleksi KIP Aceh, Aryos: Putusan MK adalah kunci
Pengamat politik dan keamanan Aceh, Aryos Nivada. (Ist)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Dua anggota KIP Aceh, Hendra Fauzi dan Robby Syahputra, serta seorang warga Aceh, Fery Munandar mendaftarkan permohonan judicial review Undang-undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (15/9) sore.

Menyikapi polemik tersebut dalam siaran persnya kepada Kanalaceh.com, pengamat politik dan keamanan Aceh, Aryos Nivada, menyatakan bahwa hal tersebut sah-sah saja bila digugat dalam kapasitas personal.

“Secara personal kedua Komisioner KIP Aceh dan seorang warga Aceh itu sah-sah saja mendaftarkan gugatan terkait UU Pemilu, terlebih apabila mereka memang merasa bahwa penerapan UU Pemilu tersebut memang merugikan hak konstitusionalnya secara langsung. Kerugian itu harus jelas menimbulkan hubungan sebab akibat (causal verband ) antara kerugian dan berlakunya UU yang dimohonkan untuk diuji. Hal itulah yang harus dibuktikan pihak-pihak ini dalam persidangan di MK,” katanya.

Namun, sambung Aryos, sebenarnya yang berkaitan langsung dengan dicabutnya pasal-pasal dalam UUPA itu adalah kelembagaan, bukan personal. Maka itu beberapa waktu lalu Hakim MK sempat mempertanyakan mengapa bukan lembaga yang menggugat malah personal.

“Karena gugatan personal warga dengan gugatan secara kelembagaaan negara adalah dua dimensi yang berbeda,” jelas Aryos.

Dia mengapresiasi positif secara kelembagaan KIP Aceh tidak turut terjebak dalam polemik UU Pemilu.

“Disatu sisi kita mengapresiasi langkah KIP Aceh yang secara kelembagaan tidak hanyut dalam arus polemik UU Pemilu. Sebagaimana statemen ketua KIP Aceh Ridwan Hadi yang menyatakan KIP tidak memiliki kewenangan mengajukan judicial review karena tidak dibenarkan untuk menafsirkan undang-undang. Hal itu sudah benar karena memang secara tupoksi KIP Aceh hanya berwenang dalam Penyelenggaran Pemilu yaitu pengendalian seluruh tahapan,” pungkasnya.

Lanjutnya, sedangkan kedudukan hukum lembaga, hal tersebut sudah diatur jelas dalam UUPA bahwa KIP Aceh merupakan satu kesatuan dengan KPU Pusat sebagaimana tertuang dalam pasal 1 ayat 12 UUPA. Ini bisa dilihat dari manajemen penyelenggaraan, aturan pelaksana, hingga anggaran dan komposisi kesekretariatan semua menginduk pada KPU Pusat.

“Jadi sangat tidak rasional dan salah kaprah apabila seandainya KIP Aceh menggugat kedudukannya sendiri karena berada dibawah hirarki KPU RI. Selain hal itu bertentangan dengan UUPA, KIP Aceh dapat saja diadukan ke DKPP apabila ternyata di kemudian hari ditemukan pelanggaran kode etik karena KIP Aceh dengan gugatan ini mengindikasikan mereka tidak mau tunduk dan patuh pada ketentuan UU yang mengamanatkan kelembagaan KIP Aceh sebagai hirarki dan satu kesatuan dengan KPU RI,” katanya.

Dengan demikian, jelasnya, keputusan KIP Aceh untuk tidak menggugat secara kelembagaan meyakinkan publik bahwa KIP Aceh secara kelembagaan memiliki integritas dan profesionalitas dalam menjalankan tugas.

“Kuncinya kalau perkara ini mau dipersidangkan, lembaga KIP Aceh lah yang menggugat. Kalau personal pasti ditolak, karena ini menyangkut kelembagaan. KPU RI kemarin kan ketika uji materi gugat secara kelembagaan bukan personal,” tandasnya. [Aidil/rel]

Related posts