Buka suara, Suu Kyi janji hukum pelanggar HAM Rakhine

Buka suara, Suu Kyi janji hukum pelanggar HAM Rakhine
Pemimpin defacto Myanmar, Aung San Suu Kyi. (Reuters)

Naypyidaw (KANALACEH.COM) – Setelah lama bungkam, pemimpin defacto Myanmar, Aung San Suu Kyi, akhirnya buka suara mengenai situasi di Rakhine, di mana kekerasan militer terhadap Rohingya dilaporkan terus terjadi.

Dalam pidato itu, Suu Kyi mengecam segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia di Rakhine dan berjanji akan menindak tegas pelakunya.

“Pelanggaran HAM dan tindakan lainnya yang merusak stabilitas dan harmoni, juga melemahkan aturan hukum, akan ditindak sesuai dengan hukum dan peradilan yang ketat,” ujar Suu Kyi.

Ia tak menjelaskan lebih lanjut kasus rinci dari pelanggaran HAM yang dimaksud. Suu Kyi hanya mengatakan, “Kami sangat prihatin dengan penderitaan semua orang yang terperangkap di tengah konflik.”

Suu Kyi juga sama sekali tak menyinggung laporan mengenai kekerasan yang dilakukan oleh militer terhadap Rohingya di Rakhine.

Sang penyandang jabatan resmi Penasihat Negara Myanmar ini hanya mengatakan bahwa sejak 5 September lalu, “sudah tidak ada lagi bentrokan bersenjata dan operasi pembersihan.”

Karena mengklaim tak ada kekerasan di Rakhine, Suu Kyi mengaku kebingungan mendengar laporan mengenai gelombang pengungsi Rohingya besar-besaran dari negaranya ke Bangladesh.

“Kami ingin mencari tahu mengapa gelombang pengungsi besar-besaran ini terjadi. Kami ingin berbicara dengan mereka yang pergi dan tetap tinggal. Saya pikir, hanya sedikit Muslim Rakhine yang tak ikut gelombang pengungsi itu,” katanya.

Merujuk pada laporan PBB, ratusan ribu Rohingya kabur ke Bangladesh setelah bentrokan antara militer dan Pasukan Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA) pecah pada 25 Agustus lalu.

Suu Kyi mengatakan, pemerintahnya sudah melakukan berbagai upaya untuk menghadirkan kembali perdamaian dan stabilitas di Myanmar dan menggalang harmoni antara minoritas Muslim dan mayoritas Buddha di Rakhine.

Bentrokan itu bermula ketika kelompok bersenjata Pasukan Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA) menyerang sejumlah pos polisi dan satu pangkalan militer di Rakhine.

ARSA melancarkan aksinya atas nama memperjuangkan hak-hak Rohingya yang selama ini menjadi korban diskriminasi dan kekerasan di Myanmar.

Sebaliknya, pemerintah menganggap ARSA sebagai teroris dan melakukan operasi untuk membersihkan wilayah Rakhine dari anggota kelompok itu. Namun ternyata, militer Myanmar tak hanya menyerang ARSA, tapi juga sipil Rohingya hingga menewaskan sekitar 1.000 orang.

Isu ini tak ayal menjadi perhatian dunia. Semua mata tertuju pada Suu Kyi yang awalnya dianggap sebagai harapan dalam menghadirkan kembali perdamaian di Myanmar.

Ketika Myanmar mengumumkan bahwa Suu Kyi akan buka suara, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, pun mengatakan bahwa ini merupakan “kesempatan terakhir” bagi sang pemimpin defacto untuk menghentikan bencana kemanusiaan di negaranya. [CNNIndonesia]

Related posts