14 korban konflik Aceh dari Tahun 1976 sampai 2005 akan bersaksi

Ini penjelasan Pemerintah Aceh terkait permintaan eks tapol/napol
Ilustrasi, Ratusan eks tapol/napol konflik Aceh mendatangi Kantor Gubernur Aceh, Banda Aceh, Rabu (21/2) untuj mempertanyakan realisasi program yang pernah mereka usulkan ke Badan Reintegrasi Aceh (BRA). (Kanal Aceh/Randi)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh menggelar rapat dengar kesaksian korban konflik di Anjong Mon Mata. Rapat digelar di Meuligo (Pendopo) Gubernur Aceh, Rabu (28/11). Kesaksian ini menjadi ruang bagi saksi dan korban menyampaikan apa yang pernah dialami pada konflik Aceh masa lalu.

Sesuai dengan yang direncanakan, ada 14 korban konflik yang akan memberikan kesaksian di depan umum. Kegiatan ini berlangsung selama dua hari berturut-turut.

Kesaksian korban konflik ini yang pertama kali digelar oleh lembaga resmi pemerintah berdasarkan Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013. Melalui regulasi ini telah diberikan mandat kepada KKR Aceh untuk mengungkapkan kebanaran, terkait dengan dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang pernah terjadi di Aceh.

“Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka menjalankan tugas dan kewenangan KKR Aceh, dalam pengungkapan kebenaran dan ini amanah udnang-udang,” kata Ketua KKR Aceh Afridar Darni di Banda Aceh.

Pengambilan kesaksian yang berlangsung di penghujung tahun 2018 ini mengusung tema ‘Dengar Suara Mereka: Dugaan Pelanggaran HAM di Aceh’. Adapun rentang waktu yang akan diungkap kebenarannya dilakukan oleh KKR Aceh dengan rentang waktu konflik antara 1976-2005.

Berdasarkan data dari KKR Aceh, ada 600 korban konflik yang telah didata dan siap untuk diambil kesaksian. Namun untuk tahap pertama KKR Aceh hanya mendatangkan 14 orang (yang terdiri dari 12 orang laki-laki dan sisanya perempuan).

Kata Afridar Darni, rapat dengar kesaksian ini digelar secara terbuka dan boleh disaksikan oleh siapapun melalui mekanisme undangan. Namun bersifat tertutup dalam penyebaran isi dari kesaksian korban ke ranah publik. Ini untuk menjaga keselamatan korban yang bersaksi bersama keluarga intinya.

“Mengingat isu konflik dan kekerasan di masa lalu masih cukup sangat sensitif serta demi keamanan para saksi korban, dan yang kami takutkan ketika isi kesaksian tersebut dikutip dan disebarkan akan berimbas pada si saksi tersebut,” ujar Afridar.

Sementara itu Wakil Ketua KKR Aceh, Evi Narti Zain menjelaskan, pihaknya telah mempersiapkan petugas di lapangan untuk terus menghimpun dan mendata korban maupun saksi lainnya di seluruh Aceh.

Katanya, selama ini KKR Aceh sudah bekerja sama dengan beberapa lembaga untuk mendata korban dan saksi. Sedangkan untuk bisa dihadirkan dalam rapat mendengar kesaksian, butuh persetujuan dari saksi dan pihak keluarga.

“Hampir semua mereka bersedia bersaksi di hadapan publik. Namun karena waktu, tempat dan masih banyak hal yang kita pertimbangkan maka tidak bisa dihadirkan semua,” ungkap Evi.

Evi menjelaskan, 14 korban yang akan menyampaikan kesaksian ini mengalami beragam kasus. Mulai dari penyiksaan hingga keluarganya yang mengalami kekerasan. Namun KKR Aceh lebih memprioritaskan korban yang mengalami kekerasan kategori berat.

Saat ini KKR Aceh baru berhasil menghimpun saksi korban dari lima wilayah, yaitu Aceh Besar dua saksi, Pidie tiga saksi, Aceh Selatan tiga saksi, Bener Meriah tiga saksi dan Aceh Utara tiga saksi.

Menurutnya, rapat dengar kesaksian ini merupakan pilot project KKR Aceh. Jika berhasil, maka akan dilaksanakan di kabupaten kota lainnya di Aceh. Rapat dengar kesaksian korban konflik ini pertama kali diadakan di Indonesia. Hal ini membuat banyak negara asing dan pakar hukum, juga peneliti, mengonfirmasi kehadirannya. [merdeka.com]

Related posts