Berkunjung ke Masjid Sahe Pakistan

Masjid Sahe Pakistan. (Foto: Hendra)

Awal Desember ini, saya kembali menuju Bangkok-Thailand. Perjalanan saya kali ini berbeda dengan sebelumnya. Biasanya saya menggunakan pesawat udara langsung menuju Bandara Internasional Suvarnabhumi-Bangkok, namun kali ini saya hanya menggunakan pesawat udara dari Bandara Sultan Iskandar Muda-Aceh Besar menuju Bandara Internasional Penang-Pulau Penang. 

Selanjutnya perjalanan ke Bangkok, saya tempuh melalui perjalanan darat menggunakan Kereta KTM Komuter dari Butterworth menuju Stasiun Kereta Padang Besar-Malaysia, tentunya setelah menyeberang menggunakan ferry dari Pangkalan Weld. 

Dari Padang Besar, setelah melalui proses pemeriksaan imigrasi Malaysia maupun Thailand, saya menggunakan kereta api selanjutnya menuju Stasiun Kereta Hat Yai (atau “Haad Yai Tran Station”). 

 Di Hat Yai, saya sampai sekitar pukul 11.00 waktu Thailand, dan memutuskan untuk bermalam di Hat Yai, sebelum melanjutkan perjalanan keesokan hari menggunakan Kereta Api “Sleeping Train” menuju Stasiun Hua Lamphong di Bangkok. 

Shalat Dzuhur di Masjid Sahe. (Foto:Hendra)

Sebenarnya, tersedia kereta api yang melayani rute Padang Besar menuju Stasiun Hua Lamphong di Bangkok, namun saya berhasrat untuk menikmati kota Hat Yai yang juga dijuluki sebagai “Kota Transit” para pelancong mancanegara.

Disela waktu di Hat Yai, saya menyempatkan diri untuk Sholat Dzuhur di Masjid Sahe Pakistan atau juga sering disebut masjid Pakistan. Masjid ini berada di Jalan Cheumrat, Amphoe-Hat Yai, hanya berjarak sekitar 800 meter dari Stasiun Kereta Api Hat Yai.

Sejarahnya, masjid ini didirikan pada tahun 1937 dan direnovasi pada tahun 1991. Dilihat dari konstruksi bangunannya, terdapat dua menara kubah yang tinggi disisi kanan dan kiri depan masjid, dan  sebagian besar dinding maupun lantainya dibuat lapisi dengan batu marmer berwarna krem cerah.

Masjid ini juga menyediakan air siap minum untuk para jamaah  yang terbuat dari stainless steel berbentuk tong segi empat berukuran sekitar satu meter persegi. 

Setiap jamaah dapat menampung air minum ini dalam gelas-gelas yang disediakan maupun botol plastik yang dibawa sendiri oleh jamaah. Saya sendiri juga ikut meminum air ini, dan menampung didalam botol air mineral yang saya bawa, setidaknya untuk persediaan air selama di perjalanan.

Yang menarik, saya berkesempatan berbincang-bincang dengan imam mesjid disela-sela sebelum masuk waktu Sholat Dzuhur. Haji Oemar nama beliau, setidaknya ada beberapa hal yang dapat saya pahami dari perbincangan yang terbata-bata dan disertai dengan bahasa tubuh. 

Penulis (kiri) dan Imam Masjid. (Foto: Hendra)

Ini karena keterbatasan kemampuan bahasa. Beliau sendiri tidak dapat berbahasa Inggris maupun Melayu, demikian pula dengan saya yang tidak mampu berbahasa Thai maupun Pakistan.

Beliau sangat antusias saat saya memperkenalkan diri, berasal dari Aceh-Indonesia. Bagi beliau sudah tidak asing mendengar negara Indonesia bahkan Aceh sendiri. menurut beliau, banyak warga Indonesia yang berkunjung dan beribadah di mesjid tersebut.

Hal yang menariknya, beliau mengatakan dengan bahasa tubuhnya memiliki pertalian darah dengan Suku Aceh dan menunjukkan cincin batu warna kemerahan dijari manisnya. 

Saya menduga beliau ingin menjelaskan bahwa cincin yang dipakainya sebagai bukti beliau dari Aceh, Wallahu a’lam Bishawab. Ada perasaan bangga sebagai orang Aceh, dan saya menyempatkan diri berswafoto dengan beliau.

Selain Bangunan utama mesjid, juga terdapat kantor “Thai-Pakistan Friendship Association”, dimana menjadi tempat berhimpunnya para keturunan Pakistan yang ada di Thailand. Menurut keterangan dari Imam mesjid, kegiatan yang dilakukan oleh asosiasi ini telah berlangsung lama dan menjadi rutinitas setiap bulannya, baik dalam peringatan hari-hari besar Islam maupun yang bersifat kenegaraan.

Untuk mencari warung makan halal disekitar Mesjid Sahe Pakistan ini tidaklah sulit, hampir disepanjang jalan disekitar mesjid terdapat rumah makan halal. Bahkan disisi kanan bersebelahan pagar dengan mesjid ini terdapat Rumah Makan Halal Food “Sumatera Restaurant”.

Bagi saya, perjalanan kali ini sangat menarik, bertemu dengan sesama muslim didaerah minoritas Islam menjadi suatu pemantik untuk terus memperkuat Ukhuwah Islamiyah diantara umat muslim di dunia. Aamiin ya rabbal’alamin. *

*Penulis: DR. Hendra Saputra, S.Pt, MM

Penulis merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Dinas Peternakan Aceh

Related posts