DPRA Desak Pencabul Santri di Lhokseumawe Dijerat Dengan UU

Irwan Djohan. (ist)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Teuku Irwan Djohan mengapresiasi Kejaksaan Negeri (Kejari) Lhokseumawe terkait perkara pencabulan santri di Pesantren AN Lhokseumawe dengan tersangka AI (45) dan MY (26).

Apresiasi disampaikan Teuku Irwan Djohan setelah Kejari Lhokseumawe mengembalikan berkas perkara kepada Polres Lhokseumawe, dengan tujuan agar pelaku dapat dihukum seberat-beratnya.

Irwan Djohan juga sepakat dengan pernyataan Kajari Lhokseumawe Ali Akbar, bahwa perbuatan pelaku tidak hanya merugikan korban, tapi juga telah melukai hati rakyat Aceh karena telah merusak kehormatan lembaga pesantren atau dayah, yang merupakan lembaga yang dihormati di Aceh.

Wakil Ketua DPRA itu, mendesak aparat penegak hukum untuk memproses pelaku dengan Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak, bukan hanya dengan Qanun Jinayat. Menurut Irwan Djohan, jika pelaku dihukum berdasarkan qanun agak lemah untuk menjerat pelaku, karena klausul kejahatan seksual terhadap anak tidak diatur secara khusus di dalam Qanun Jinayat.

“Kasus kekerasan seksual terhadap anak di Lhokseumawe itu jelas peristiwa yang sangat memilukan bagi Aceh, khususnya bagi anak-anak Aceh. Anak-anak adalah generasi penerus bangsa yang seharusnya dilindungi dan dididik, bukan karena mereka lemah lalu dijadikan sebagai objek kejahatan,” ujar Irwan Djohan, (13/8).

Ia meminta agar hukum ditegakkan dengan menghukum pelaku seberat-beratnya. Apalagi pada kasus di Lhokseumawe jumlah korbannya sampai 15 orang lebih.

“Ini kejahatan luar biasa. Korbannya anak-anak yang lemah, dan bukan cuma satu orang. Apabila hanya diancam hukuman 90 kali cambuk, tentu sangat ringan bagi pelaku. Jelas tidak setimpal,” ucapnya.

Irwan Djohan menjelaskan, jika proses hukum terhadap pelaku dijerat dengan Qanun Jinayat, maka maksimal hukumannya hanya 90 kali cambuk, denda 900 gram emas dan kurungan 90 hari. Hukuman demikian tentu sangat ringan dan tidak akan menimbulkan efek jera, serta tidak memenuhi rasa keadilan bagi korban dan keluarga korban.

“Kalaupun pelaku dijerat dengan Qanun Jinayat, maka seharusnya dikali dengan jumlah korban. Dalam kasus ini bukan hanya satu korban, tapi belasan korban, bahkan bisa lebih. Jadi kalau 90 kali cambuk untuk satu korban, maka untuk 10 korban berarti 900 kali cambuk, 9000 gram emas, dan 900 hari penjara. Itupun masih ringan, jadi memang sepantasnya dijerat dengan UU Perlindungan Anak yang hukumannya lebih berat,” sebut Irwan Djohan.

Ia menambahkan, pada beberapa kasus kejahatan seksual terhadap anak di Aceh sudah divonis dengan menggunakan UU Perlindungan Anak, bukan qanun.

“Pada tanggal 16 Juli lalu, Pengadilan Negeri Blang Pidie baru saja menjatuhkan vonis 20 tahun penjara atas pelaku pencabulan terhadap anak tirinya. Itu bisa menjadi sebuah yurispridensi bagi penegak hukum di Lhokseumawe untuk menjerat pelaku menggunakan UU Perlindungan Anak,” terang Irwan Djohan.

Ia meminta kepada keluarga korban untuk tidak takut melaporkan kejahatan ini. Hal ini menurutnya demi menjaga nama baik dayah dan membersihkan dayah sebagai lembaga pendidikan yang menduduki posisi penting di Aceh dari oknum-oknum yang menyimpang.

“Saya harapkan semua keluarga yang anak mereka menjadi korban harus berani melapor. Karena kita ingin kasus yang merusak citra dayah dan citra Aceh ini tidak terulang kembali,” ujarnya.

Irwan Djohan juga menyatakan bahwa kasus kejahatan seksual terhadap anak di Lhoksemawe tersebut dapat menjadi momentum bagi DPRA dan seluruh elemen masyarakat Aceh terkait untuk melakukan penyempurnaan terhadap Qanun Jinayat agar mengatur secara khusus soal kejahatan seksual seperti pemerkosaan, pelecehan dan pencabulan dengan ancaman hukuman yang jauh lebih berat. [Randi/rel]

Related posts