Menakar Kekayaan Mineral Afghanistan yang Dikuasai Taliban

Menakar Kekayaan Mineral Afghanistan yang Dikuasai Taliban. (Foto: mncmedia)

(KANALACEH.COM) – Jatuhnya Afghanistan ke tangan Taliban dalam waktu singkat menarik simpati dunia. Namun, di balik krisis politik tersebut, mata dunia juga tertuju pada potensi kekayaan alam berupa mineral yang bisa mengubah ekonomi Afghanistan apabila dikembangkan.

Melansir CNN, Kamis (19/8), Afghanistan adalah salah satu negara termiskin di dunia. Namun, pada 2010, pejabat militer dan ahli geologi AS mengungkap bahwa negara yang terletak di persimpangan Asia Tengah dan Selatan tersebut memiliki cadangan mineral senilai hampir US$1 triliun.

Cadangan mineral yang berada di tanah Afghanistan berupa besi, tembaga, emas, dan mineral tanah jarang yang tersebar di seluruh provinsi. Namun, yang paling utama adalah Afghanistan memiliki cadangan lithium terbesar di dunia.

Seperti diketahui, lithium adalah komponen penting baterai dan teknologi lain yang saat ini masih langka.

“Afghanistan merupakan salah satu wilayah yang kaya akan logam mulia konvensional, dan juga logam yang dibutuhkan untuk ekonomi abad ke-21,” ujar ilmuwan dan pakar keamanan pendiri Ecological Futures Group Rod Schoonover.

Tantangannya, faktor keamanan, kekurangan infrastruktur, dan kekeringan parah. Ia memprediksi kondisi tersebut tidak akan segera berubah di bawah kendali Taliban. Namun, sejumlah negara telah menampakkan minatnya, seperti China, Pakistan, dan India, yang mencoba untuk terlibat meskipun terjadi kekacauan di negara tersebut.

Sayang, potensi ekonomi Afghanistan kini meredup. Bahkan, sebelum Presiden AS Joe Biden mengumumkan akan menarik pasukan AS dari Afghanistan pada awal tahun ini, prospek ekonomi negara itu sudah suram.

Pada 2020, diperkirakan ada 90 persen orang Afghanistan hidup di bawah tingkat kemiskinan yang ditentukan pemerintah, yakni pendapatan per kapita sebesar US$2 per hari, berdasarkan laporan dari US Congressional Research Service periode Juni 2021.

Bahkan, Bank Dunia mengatakan bahwa ekonomi Afghanistan masih dibentuk oleh kerapuhan dan ketergantungan bantuan.

“Pengembangan dan diversifikasi sektor swasta dibatasi oleh ketidakamanan, ketidakstabilan politik, institusi yang lemah, infrastruktur yang tidak memadai, korupsi yang meluas, dan lingkungan bisnis yang sulit,” tulis Bank Dunia pada Maret 2021 lalu.

Permintaan logam, seperti lithium dan kobalt, serta elemen tanah jarang seperti neodymium, mulai melonjak. Hal ini terjadi ketika negara-negara mencoba beralih ke mobil listrik dan teknologi bersih lainnya, untuk memangkas emisi karbon.

Badan Energi Internasional (IEA) mengungkapkan pasokan global lithium, tembaga, nikel, kobalt, dan elemen tanah jarang, perlu digenjot atau dunia akan gagal dalam upayanya untuk mengatasi krisis iklim.

Saat ini, tiga negara penyumbang terbesar mineral tersebut adalah China, Kongo, dan Australia. Tiga negara itu berkontribusi sekitar 75 persen dari produksi global lithium, kobalt, dan tanah jarang.

Pemerintah AS memperkirakan cadangan lithium di Afghanistan bisa menyaingi Bolivia, yang merupakan pemilik terbesar cadangan lithium di dunia.

“Jika Afghanistan dalam beberapa tahun tenang, mungkin terjadi pengembangan sumber daya mineralnya. Hal itu bisa membuat Afghanistan menjadi salah satu negara terkaya di kawasan itu dalam satu dekade,” kata Mirzad dari Survei Geologi AS kepada majalah Science pada 2010.

Sayangnya, kedamaian itu tidak pernah terjadi di Afghanistan, sehingga sebagian besar kekayaan mineralnya tetap berada di dalam tanah. Beberapa ekstraksi mineral yang terjadi pun masih terbatas.

IEA memperkirakan eksploitasi litium dan mineral tanah jarang membutuhkan investasi, pengetahuan teknis, dan waktu yang jauh lebih besar. IEA memperkirakan butuh rata-rata 16 tahun dari penemuan cadangan untuk sebuah tambang memulai produksi.

Saat ini, mineral Afghanistan hanya menghasilkan US$1 miliar per tahun. Dari jumlah tersebut, sebesar 30 persen hingga 40 persen dikorupsi, termasuk diduga oleh panglima perang dan Taliban, yang memimpin proyek pertambangan kecil.

Namun, Rod Schoonover mengatakan ada kemungkinan Taliban menggunakan kekuatan barunya untuk mengembangkan sektor pertambangan.

Peluang China

Di sisi lain, Rod Schoonover menyinggung peluang China terhadap potensi mineral di Afghanistan. Pasalnya, China merupakan pemimpin pada penambangan tanah jarang.

Pada awal pekan, China mengatakan pihaknya mempertahankan kontak dan komunikasi dengan Taliban.

“China, sebagai negara tetangga, sedang memulai program pengembangan energi hijau yang sangat signifikan,” kata Schoonover.

“Lithium dan tanah jarang sejauh ini tak tergantikan karena kepadatan dan sifat fisiknya. Mineral itu menjadi faktor dalam rencana jangka panjang mereka (China),” imbuhnya.

Namun, jika China turun tangan Schoonover mengatakan akan ada kekhawatiran tentang keberlanjutan proyek pertambangan mengingat rekam jejak China.

“Bila penambangan tidak dilakukan dengan hati-hati, itu dapat merusak ekologis, yang merugikan segmen tertentu dari populasi,” katanya.

Namun, Mitra RK Equity Howard Klein punya pandangan beda. Menurutnya, China akan mendahulukan negara lain ketimbang Afghanistan untuk pengembangan sumber mineral. Mengingat, kondisi politik yang tidak stabil saat ini. [cnn]

Related posts