Pabrik Sawit di Aceh Diminta Beli TBS Sesuai Harga Penetapan

Parlemen Eropa tak ikhlas sawit Indonesia maju
Ilustrasi - Pekerja mengumpulkan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit hasil panen di Desa Seumanah Jaya, Rantoe Peureulak, Aceh Timur, Aceh, Minggu (9/10). (Antara Foto)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Aceh meminta pabrik kelapa sawit (PKS) di daerahnya membeli tandan buah segar (TBS) kelapa sawit sesuai dengan harga yang ditetapkan pemerintah.

“Kami selalu monitor, beberapa hari lalu kami juga bertemu dengan PKS untuk membahas penetapan harga TBS,” kata Kepala Bidang Pengelolaan dan Pemasaran Perkebunan Distanbun Aceh Cut Regina seperti dilansir laman Antara, Kamis (30/6).

Dinas telah menetapkan harga TBS pada Rabu (29/6) dan berlaku hingga pekan pertama Juli. Untuk wilayah barat Aceh, PKS harus membeli TBS dengan harga tertinggi pada usia tanaman 10-20 tahun sebesar Rp1.850 per kilogram dan terendah pada usia tiga tahun Rp1.200 per kilogram.

Sedangkan untuk wilayah timur Aceh, harga TBS sawit tertinggi usia tanaman 10-20 tahun sebesar Rp1.874 per kilogram, dan harga terendah pada usia tiga tahun yakni Rp1.287 per kilogram.

“Kondisi ini selalu berubah, maka kita tetapkan harga seminggu sekali,” katanya.

Oleh karenanya, dinas meminta PKS disiplin membeli TBS sesuai dengan harga yang ditetapkan, terutama bagi petani yang bermitra dengan perusahaan, seperti yang diatur dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 1 tahun 2018.

Saat ini, kata Regina, hanya 30 persen petani sawit di Aceh yang masuk dalam kelembagaan petani serta bermitra dengan PKS. Sedangkan 70 persen sisanya masih petani swadaya.

“Kita telah menetapkan harganya, menurut rendemennya, PKS tinggal mengikuti saja untuk yang bermitra. Mungkin bagi yang tidak bermitra dibeli di bawah (harga) itu,” katanya.

Dijelaskan Regina, harga yang ditetapkan pemerintah kali ini memang turun dibandingkan harga penetapan pada bulan-bulan sebelumnya, yang bahkan lebih Rp3.000 per kilogram TBS sawit.

Penurunan harga penetapan pemerintah ini dampak dari larangan ekspor CPO beberapa waktu lalu. Namun, ketika kini kran ekspor dibuka kembali, PKS belum siap melakukan ekspor karena beberapa faktor, salah satunya pungutan ekspor yang tinggi.

Hal ini membuat penumpukan TBS di setiap PKS, dan juga membuat kualitasnya yang semakin menurun.

“Memang setelah dibuka kran ekspor, PKS belum mengekspor karena harga tidak sesuai, karena ada penumpukan dari awal pelarangan ekspor. PKS juga tidak mungkin menjual dengan harga rendah, sementara mereka beli dengan harga tinggi,” katanya. (ant)

Related posts