Wali Nanggroe Kenang Peran Ahtisaari dalam Perdamaian Aceh

Wali Nanggroe Kenang Peran Ahtisaari dalam Perdamaian Aceh. (net/)

(KANALACEH.COM) – Di penghujung tahun 2005, jalan menuju perdamaian di Aceh perlahan menemui titik temu. Martti Ahtisaari, mantan presiden Finlandia, memainkan peran penting dalam merancang kesepakatan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005.

Bagi Malik Mahmud, ketua juru runding GAM yang berhadapan langsung dengan Ahtisaari selaku mediator, sosok politisi kawakan Eropa ini mampu menawarkan pendekatan yang berbeda—tegas namun adil bagi pihak yang bersengketa.

Ia berhasil membawa kedua belah pihak yang bertikai dan kemudian berunding–untuk menempuh perundingan serius yang sebelumnya mustahil untuk terlaksana.

Ahtisaari tidak hanya sekadar menjadi jembatan komunikasi, namun ia juga seorang yang amat cermat dalam mengontrol informasi yang diberikan kepada media, menjaga agar suasana perundingan tetap terkendali dan kondusif bagi dua pihak yang ia bantu.

Dalam menyukseskan perundingan, Ahtisaari memanfaatkan jaringan globalnya untuk memperkuat kesepakatan. Ia melibatkan Uni Eropa sebagai pemantau perdamaian, memastikan bahwa implementasi dari kesepakatan berjalan di bawah pengawasan pihak kuat dan netral.

Kehadiran pengawas dari Uni Eropa memberikan rasa percaya diri bagi kedua belah pihak bahwa setiap langkah pasca kesepakatan akan diawasi dengan ketat.

Pada perundingan itu, Ahtisaari seringkali menunjukkan ketegasannya. Kepada delegasi GAM, ia tidak segan menyatakan bahwa tuntutan kemerdekaan tidak realistis dan tidak mungkin dibicarakan.

Tidak ada negara yang siap mendukung keinginan tersebut, dan upaya untuk mewujudkannya hanya akan memperpanjang penderitaan bagi rakyat Aceh yang sedang dirudung musibah bencana.

Di sisi lain, ia juga mendorong pemerintah Indonesia untuk serius menangani isu-isu hak asasi manusia, terutama kasus- kasus pelanggaran yang terjadi selama konflik yang berlangsung selama tiga dekade. Bagi Ahtisaari, keadilan adalah kunci utama dalam membangun perdamaian jangka panjang di Aceh.

Pengalaman Ahtisaari yang luas dalam menyelesaikan konflik global memberinya kepekaan dalam menghadapi situasi di Aceh. Ia telah terlibat dalam berbagai negosiasi, dari Afrika hingga Eropa Timur, termasuk menjadi pengawas pemusnahan senjata kelompok pemberontak Irlandia Utara (IRA). Pengalaman ini membuatnya memahami pentingnya menjaga kepercayaan kedua belah pihak di meja perundingan.

Salah satu poin krusial dalam perundingan adalah penyerahan senjata oleh GAM. Malik Mahmud dan timnya menyepakati proses penyerahan secara bertahap—tiga tahap, di mana setiap tahap melibatkan penyerahan 300 pucuk senjata, total hampir 900 pucuk senjata GAM yang diserahkan.

Sebagai gantinya, pemerintah Indonesia setuju untuk menarik 10 batalion TNI dari Aceh pada setiap tahap penyerahan senjata. Ini adalah kompromi yang penting, dan Ahtisaari memastikan agar setiap langkah dijalankan sesuai kesepakatan.

Bagi Malik Mahmud dan GAM, awalnya hal ini tentunya tidak mudah. Namun, gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 mengubah perspektif semua pihak dalam melihat Aceh dan situasi keamanan di Aceh.

Bencana ini membuat GAM untuk mengesampingkan sejenak peran senjata dalam perjuangan mereka. Pilihan untuk menciptakan perdamaian untuk melancarkan rekonstruksi Aceh akhirnya dirasa lebih penting daripada melanjutkan pertempuran.

Namun, perundingan tidak selalu berjalan mulus. Ahtisaari sering mengingatkan bahwa tidak semua masalah bisa diselesaikan sekaligus dalam perundingan, dan fokus harus diarahkan pada solusi realistis yang dapat diterima oleh semua pihak. Status Aceh tetap menjadi isu sensitif selama perundingan, tetapi Ahtisaari menegaskan bahwa menerima otonomi khusus adalah pilihan paling masuk akal.

Malik Mahmud dan GAM akhirnya bersedia melepaskan tuntutan kemerdekaan, sebuah langkah yang tentunya terasa berat tetapi dipandang sebagai jalan terbaik untuk mengakhiri penderitaan rakyat, baik akibat perang puluhan tahun, maupun yang sedang berjuang pasca bencana gempa dan tsunami.

Bagi Malik Mahmud, peran Ahtisaari dalam perundingan ini meninggalkan kesan mendalam. Ahtisaari tidak hanya melihat konflik sebagai sesuatu yang perlu diakhiri, tetapi juga sebagai kesempatan untuk menciptakan kehidupan baru yang lebih baik bagi rakyat Aceh.

Kedua belah pihak, maupun mediator tahu bahwa tidak ada perdamaian yang sempurna, namun hal ini akan memberikan kesempatan untuk membangun kembali Aceh dari puing-puing konflik dan dampak bencana.

Dengan dukungan Uni Eropa sebagai pengawas, Aceh akhirnya memasuki babak baru dengan dilangsungkan penandatanganan MoU antara pihak GAM dan Pemerintah RI pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Findlandia.

Penyerahan senjata oleh GAM dan penarikan pasukan TNI kemudian benar- benar mengakhiri ketegangan di lapangan. Keberhasilan ini menjadi bukti bahwa dialog dan kemauan politik bisa mengatasi konflik bersenjata yang bertahun-tahun tampak tidak terselesaikan.

Peran Martti Ahtisaari dalam perdamaian Aceh menunjukkan bahwa dengan pendekatan yang tepat, konflik paling sulit sekalipun bisa menemukan solusi jalan damai.

Dedikasinya untuk menjaga netralitas, fokus pada solusi realistis, dan kesediaannya mengajak dunia internasional berperan aktif membuat perjanjian damai di Aceh menjadi kenyataan. Di mata Malik Mahmud, upaya ini tidak hanya sekadar menghentikan tembakan senjata, tetapi juga membuka pintu menuju masa depan yang lebih baik bagi Aceh.

Related posts