Sejarah Yang Usang

Benteng Indra Patra | Foto: acehplanet.com
  • Oleh : Cut Husnul Khatimah  

Aceh tidak hanya menyimpan sejarah peradaban kejayaan Islam semasa kesultanan Aceh. Jauh sebelum Islam masuk kedalam kehidupan masyarakat Aceh, agama Hindu terlebih dahulu berkembang di Aceh.

Salah satu bukti masa keemasan kerajaan hindu di Aceh adalah benteng Indra Patra yang terletak didesa Ladong, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar. Keberadaan benteng ini menjadi peninggalan sejarah mengenai masuknya pengaruh hindu dari India ke Aceh.

Snock Hurgronye membenarkan adanya pengaruh hindu di Aceh, dengan menunjukkan sedikit gambaran yang mengindikasikan adanya pengaruh hindu, dengan memperhatikan cara berpakaian wanita Aceh yang dikatakannnya bersanggul miring, mirip dengan cara para wanita hindu, menurutnya pula,  langsung atau tidak lagsung, hinduisme pada suatu waktu mengalir kedalam peradaban dan bahasa Aceh walaupun hal ini sulit diteliti dalam riwayat dan adat.

Julius Jacob seorang ahli kesehatan yang pernah bertugas diaceh tahun1878, menyatakan bahwa pengaruh hindu atas penduduk setidak-tidaknya dapat ditemukan dengan kenyataan tentang pemakaian nama-nama tempat dalam bahasa hindu istilahnya terdapat dalam bahasa Aceh[1].

Menurut beberapa sumber dulunya aceh terdapat tiga kerajaan hindu yaitu indra puri, indra patra dan indra purwa, peninggalan di indra patra yang bisa di saksikan kini adalah benteng indra patra, sedangkan kerajaan purwa diperkirakan berada di Lambadeuk Bada Aceh Besar.

Dalam satu riwayat menyebutkan benteng yang kini menjadi mesjid tuha indra puri, dibangun  oleh ratu keluarga kerajaan harsha dari india, mereka melarikan diri keaceh karena kalah perang dinegerinya pada tahun 604 M, dan indra puri adalah kota ratu. Selain itu ada yang menegaskan jejak-jejak hindu di Aceh, dengan adanya perkuburan hindu di Gampong Tanoh Abei dan disekitaran pasar Indra Puri.

Benteng Indra Patra merupakan peninggalan kerajaan Lamuri dimasa silam yang digunakan sebagai benteng pertahanan musuh-musuh.

Benteng Indra Patra ini juga digunakan pada masa kerajaan Iskandar Muda sebagai benteng pertahanan dari gempuran asing, dengan pemimpinnya Laksamana Malahayati, justru kemudian benteng ini dikenal dengan bentengnya Laksamana Malahayati, seorang panglima perang yang sangat disegani didunia.

Benteng Indra Prata menjadi saksi bisu adat – istiadat di Aceh, dan heroisme perjuangan sang Srikandi Aceh Laksamana Malahayati.

Kerajaan lamuri yang pada dasarnya beragama hindu, akhirnya memeluk islam, mengenai keislaman atau proses keislaman kesultanan lamuri masih simpang siur belum tentu kepastiannya, siapa yang pertama mengislamkannya. Menurut sebuah historiografi hikayat melayu, kesultanan Lamuri merupakan daerah kedua yang diislamkan oleh Syech Ismail.

Beberapa pendapat mengatakan bahwa kerajaan lamuri terpecah menjadi dua, yaitu Meukuta Alam yang dipimpin oleh raja Musaffar Syah dan Darul Kamal yang dipimpin oleh raja Inayat Syah, kemudian Darul Kamal ditaklukkan oleh kesultanan Meukuta Alam, dan menyatukan dinasti meukuta alam dengan darul kamal menjadi kerajaan Darussalam dengan raja pertamanya sultan Ali Mughayat syah yang dinobatkan pada ahad, 1 jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8september 1507, dan terus-menerus turun-temurun sampai kesultan Iskandar Muda yang dikenal dengan sang raja yang adil dan bijaksana.[2]

Kerajaan Aceh Darussalam mencapai puncak keemasan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), pada masa kepemimpinan beliau Aceh telah mampu ‘memukul mundur’ kekuatan Portugis dari Selat Malaka.

Kejadian ini dilukiskan dalam La Grand Encyeclopedia bahwa pada tahun 1582, bangsa Aceh telah meluaskan pengaruhnya atas pulau-pulau sunda (Sumatera, Jawa dan Kalimantan) dan atas sebagian tanah semenanjung melayu. Selain itu, Aceh juga melakukan hubungan diplomatik dengan semua bangsa yang melayari lautan Hindia[3].

Aceh juga melahirkan beberapa ulama ternama yang karangan mereka menjadi rujukan pertama dalam bidang masing-masing, seperti Hamzah Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi ma’rifati al-U Adyan, Syamsuddin Al-Sumatrani dalam bukunya Mi’raj al-muhakikin al-iman, Nuruddin Al-Raniri dalam bukunya Sirat al-mustaqim dan Syech Abdul Rauf singkili dalam bukunya Mi’raj Al-Tulabb fi Fashil.

Aceh juga mempunyai pahlawan yang gagah berani beserta srikandinya yang patut diteladani. Wahai generasi Aceh ikuti jejak nenek moyang jangan mau dijajah oleh budaya asing yang dapat merusak citra Aceh yang dijuluki Serambi Mekkah.

Allah hai dododaidi…

Boh gadong bie boh kayee uteun

Rayeuk sinyak hana peu ma brie

Aeb ngen keuji ureung donya kheun

Allah lah dododaidang

Seulayang blang ka putoh taloe

Beurijang rayeuk muda sedang

Tajak bantu prang ta bela Nangroe, Wahe aneuk bek ta duek le

Beudoh beusare ta bela bangsa, Bek ta takot keudarah ile, Adak pih mate poma ka rela…..

Adanya kata “PERANG” dalam syair tersebut bukan karena orang Aceh mengajarkan anak-anaknya berperang sejak masih dalam buaian. Tapi orang Aceh mengajarkan ketegasan, keberanian dan kesetiaan membela tanah airnya dari tangan-tangan yang merusaknya.

Bacaaan lirik diatas yang bermakna bahwa sejak kecil orang Aceh telah menanamkan cinta pada negerinya. Jika suatu hari setelah dewasa dan merantau, jangan lupa pada tanah kelahiran, karena kemanapun melangkah, darah Aceh akan selalu mengalir dalam tubuhnya. [*]

——————————————-

[1] Islam di aceh, idwikipedia.org/wiki/islam_di_aceh

[2] Lamuri cikal bakal kerajaan aceh darussalam, www.facebook.com/../10151881389112552

[3] Kesultanan aceh darussalam, www.atjehcyber.net>home>kerajaan islam aceh

 

Penulis : Cut Husnul Khatimah

Mahasiswi Stain Malikussaleh

Desa Pulo Kecamatan Syamtalira Aron, Aceh Utara

Email: icut.inulaja@gmail.com,

085376997306

Related posts