Peranan Radio Rimba Raya dalam Perang Kemerdekaan RI di Aceh

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Salah Satu modal perjuangan Bangsa Indonesia pada masa perang kemerdekaan adalah alat komunikasi yaitu radio Rimba Raya. Sejak masa awal perang Kemerdekaan 1946 daerah Aceh telah memiliki sebuah pemancar radio yang ditempatkan di Kutaraja.

Dan dalam perkembangan selanjutnya dalam tahun 1947 ditambah sebuah pemancar lagi yang ditempatkan di Aceh Tengah dan dikenal dengan Radio Rimba Raya.

Kedua pemancar ini telah memegang peranan cukup besar pada masa perang kemerdekaan sehingga sarana ini dapat dikatakan Modal Perjuangan Bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya (Amran Zamzami, 1990: 353).

Mengenai Radio Republik Indonesia, Kuta Raja pertama kali mengumandang di udara pada tanggal 11 Mei 1947 dengan kekuatan 25 watt melalui gelombang 68 meter.

Jangkauan siarannya hanya sekitar Kutaraja, namun dalam perkembangannya tahun 1947 radio ini berhasil dikembangkan menjadi 100 watt, yang jangkauan siarannya sampai ke kota Medan dan Bukit Tinggi.

Selanjutnya pada tanggal wakjan April 1948 Radio ini dikembangkan lagi hingga menjadi 325 watt dan mengudara melalui gelombang 33,5 meter dan penyiarannya sudah dapat ditangkap di luar negeri.

Ketika Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bersidang membicarakan masalah pertikaian antara Republik Indonesia dengan Belanda, Radio Republik Indonesia Kuta Raja ini berulang-ulang mengadakan siaran dengan menyiarkan hasrat/keinginan dan tekad bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya (Abdullah Ali, 1985:116).

Mengenai Radio Rimba Raya berbeda dengan Radio Republik Indonesia Kutaraja. Pemancar Radio Rimba Raya ini mempunyai kekuatan cukup besar yaitu 1 kilowatt yang dikelola oleh Devisi X TNI yang dipimpin oleh Kolonel Husen Yusuf Menurut catatan sendam I Iskandar Muda dalam buku Dua Windu Kodam I Iskandar Muda.

Radio Rimba Raya ini berasal dari Malaya (Malaysia) yang diseludupkan dengan menerobos blokade Belanda di Selat Malaka oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan menggunakan Speed Boat di bawah pimpinan mayor John Lie (Amran Zamzami, 1990: 411).

Pemancar ini pertama sekali dipasang di Krueng Simpo sekitar 20 km dari kota Takengon, kemudian atas perintah Gubernur Militer radio ini dipindahkan ke  Cot Gu (Kutaraja).

Lalu dipindahkan lagi ke Aceh Tengah karena para pemimpin memperkirakan bahwa pada gilirannya Belanda akan menyerbu ke Aceh. Radio ini ditempatkan di sebuah gunung yang dikenal dengan Burni Bius yang letaknya 10 km di bahagian barat kota Takengon.

Dalam waktu singkat sesuai dengan suasana yang mencekam dan kebutuhan mendesak pemancar radio Rimba Raya selesai dibangun yang dikerjakan oleh W. Schultz seorang warga negara RI keturunan Indo-Jerman bersama rekannya.

Maka semenjak itulah ketika pemancar-pemancar utama di berbagai kota tidak mengudara lagi karena dikuasai Belanda dan Radio Rimba Raya mengisi kekosongan ini dengan hasil yang baik sekali (T.A. Talsya, 1989: 69).

Ketika radio Batavia dan Radio Hilversum memberitahukan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi karena setelah Yogyakarta dapat direbut disusul pula dengan jatuhnya daerah-daerah kekuasaan Republik Indonesia lainnya, Radio Rimba Raya membantah dengan tegas, yang menandaskan

Bahwa Republik Indonesia masih ada, Tentara Republik Indonesia masih ada, Pemerintah Republik Indonesia masih ada, dan wilayah Republik Indonesia masih ada”.

‘Dan di sini, adalah Aceh, salah satu wilayah Republik Indonesia yang masih utuh sepenuhnya”, kata siaran radio tersebut.

Berita ini dikutip oleh All India Radio kemudian menyiarkan lagi, sehingga dunia pun mengetahui kebohongan Belanda.

Oleh: TA. Sakti

Related posts