Buruh Aceh Minta Pemerintah Revisi PP nomor 78 Tahun 2015

Aksi buruh Aceh. Foto: T Irawan

BANDA ACEH – Kebijakan Pemerintah pusat yang menetapkan Peraturan Pemerintah No 78 tahun 2015 tentang pengupahan bedasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi sangat merugikan bagi buruh di Indonesia, terutama buruh di Aceh.

“Kami mengangap Pemerintah Jokowi-JK telah merampas hak serikat pekerja untuk terlibat dalam menentukan upah minimum. Padahal keterlibatan serikat pekerja dalam menentukan kenaikan upah merupakan hal sangat prinsip. Sesuai konvensi ILO nomor 87 tentang kebebasan berserikat dan konvensi ILO nomor 89 tentang hak berundin,” katanya.

Seharusnya, kata Habibie, upah minimum itu diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak yang komponennya Kebutuhan Hidup Layak (KHL). “Namun, dalam instrument PP 78 tahun 2015 tentang pengupahan tersebut penetapan UMP hanya memperhatikan inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang setiap tahunnya rata-rata 10 persen,” ungkapnya.

Untuk itu, Kami dari Aliansi Buruh Aceh mendesak presiden mencabut PP No 78 tahun 2015 tentang pengupahan, serta menolak formulasi kenaikan UMP yang hanya bedasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, kami juga mendesak Gubernur Aceh untuk merevisi Pergub No 60 tahun 2015 tentang UMP dan menentapkan kenaikan UMP sebesar 25 persen atau Rp.2,3 juta, serta meminta pemerintah provinsi dan Kabupaten/kota untuk menerapkan upah sektoraldi Aceh dan Upah Minumun Kabupaten (UMK) dengan nilai kenaikan 10 persen diatas UMP.

Pemerintah Aceh juga diharapkan untuk meningkatkan pengawasan keternagakerjaan dalam memberikan perlindungan bagi pekerja dan menengakan UU keternagakerjaan serta qanun nomor 7 tahun 2014 tentang keternagakerjaaan.

Sementara itu, Anggota Komisi I DPR Aceh Bardan Saidi yang menemui para unjuk rasa tersebut mengatakan, pihaknya setuju dan mendukung apa yang menjadi tuntutan para Buruh di Aceh.

Karena menurutnya, penetapan PP No 78 tahun 2015 tentang pengupahan oleh Pemerintah pusat bedasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi memang tidak bisa diterima dengan akal sehat.

“Untuk itu, apa yang telah dituntut oleh Aliansi Buruh Aceh ini, nantinya akan kami sampaikan kepada Gubernur Aceh dan selanjutnya akan diteruskan kepemerintahan Jokowi-JK, kita harapkan kebijakan itu dapat direvisi nantinya,” jelasnya.

Terkait dengan UMP Aceh, kata Bardan, DPR Aceh telah menetapkan qanun no 7 tahun 2014 tentang keternagakerjaan. Nah, untuk implementasi kerja qanun ini harus diikuti dengan Pergub agar semua SKPA bisa melaksanakannya.

Setelah satu tahun qanun ini disahkan, tapi sekarang belum dilaksanakan dan belum diikuti oleh pergub. Oleh karena itu, kita akan menanyakan apa yang menjadi kendala sehingga qanun ini belum dilaksanakan.

“Untuk itu, DPR Aceh akan meminta Gubernur Aceh agar segera mengimplementasikan qanun ini melalui Pergub,” terang Bardan Sahidi dari fraksi PKS tersebut.

Selain itu juga, dewan pengupahan hingga saat ini belum bekerja, karena dalam penetapan UMP itu melibatkan tiga komponen penting, pertama pemberi kerja, kedua pemerintah, dan ketiga buruh, dari itulah nantinya akan disepakati berapa kenaikan UMP.

Menurut dia, penetapan UMP harus disesuaikan dengan daya beli masyarakat dan situasi rupiah, kalau sekarang UMP Aceh sebesar Rp1,9 juta permintaannya sebesar Rp2,3 juta atau naik 25 persen, saya rasa permintaan itu wajar-wajar saja.[T IRAWAN]

Related posts