Wali Nanggroe: Aceh Terbentuk Berlandaskan Agama Islam

Wali Nanggroe Tgk Malik Mahmud Al-Haythar saat membacakan pidato kebudayaan dalam acara Malam ANugerah Wali Nanggroe 2015. Foto: Aidil

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Wali Nanggroe Tgk Malik Mahmud Al-Haythar menjelaskan Kebudayaan Aceh merupakan tatanan kohesi sosial kehidupan, baik berlandaskan dari paradigma dan tempat bermukimnya masyarakat Aceh.

“Antara pesisir, tengah, tenggara dan dari barat sampai ke pegunungan hingga kepualauan yang ada di selatan,” katanya dalam pidato kebudayaan acara Malam Anugerah Wali Nanggroe 2015 di gedung AAC Dayan Dawood, Banda Aceh, Rabu (16/12).

Akulturasi budaya Aceh tersebut, lanjut Wali Nanggroe, bersumber dari pemahaman agama dan kepercayaan orang Aceh yang berdiri sebagai ideologi utuh hingga sampai saat ini.

Sejarah membuktikan, sambung Tgk Malik Mahmud Al-Haythar, Aceh pada dasarnya memiliki pemahaman kebudayaan yang berbeda, hingga kedatangan Islam disebarkan oleh para pedagang dan kafilah muslim sehingga membentuk pemahaman berlandaskan agama Islam.

“Banyak kita lihat masjid tua di Aceh, seperti masjid Indrapuri, Indrapatra dan Indrapurwa dengan Bandar Kerajaan Indrapurba atau Lamuri,” jelas Wali Nanggroe.

 

Karena kehidupan Islam masuk ke Aceh, ungkap Wali Nanggroe, Pura yang merupakan rumah ibadah agama Hindu harus diubah menjadi masjid. Lantas, hukum bersumber dari Al-Quran dan Hadist yang bersinergi dengan hukum adat kerajaan islam Aceh.

 

Pada segmen adat, sambung Wali Nanggroe, di Aceh mempunyai ciri khas dalam penyebutannya, maka dari itu harus sama-sama dilestarikam agar tidak tergerus oleh arus globalisasi dan informasi yang begitu cepat.

 

“Penyebutan itu antaralain, penjaga hutan belantara disebut pawang uteun, penjaga laut disebut panglima laot, pengurus sawah lazimnya disebut kejreun blang. Begitu juga dengan penyebutan satwa seperti Po Meurah atau Teungku Rayeuk untuk Gajah,” ungkapnya.

Baca Juga:


Nama-nama tersebut adalah bukti apresiasi segala lini, sesuai dengan filosofi dan nilai yang terkandung dalam masyarakat islam Aceh.

 

“Hal yang saya utarakan bukan hanya soal nama, tapi identitas dari kearifan lokal yang ada sejak indatu kita, hingga sekarang yang mulai jarang dilestarikan,” ucapnya.

 

Dengan demikian, Tgk Malik Mahmud Al-Haythar selaku Wali Nanggroe Aceh yang berdasarkan undang-undang diberikan kewenangan absolut untuk menjaga dan melestarikan serta menumbuhkembangkan budaya Aceh secara holistik dan natural.

 

Malam Anugerah Wali Nanggroe 2015 ini dihadiri oleh unsur Forkopimda Aceh, Rektor Universitas Syiah Kualam Rektor UIN AR-Raniry, Kepala Satuan Kerja Pemerintah Aceh, Bupati/walikota se-Aceh, Ketua Lembaga Keistimewaan Aceh, para penerima penghargaan, dan tamu undangan lainnya, serta masyarakat umum. [Aidil Saputra]

Related posts