Potret keterbatasan dana momentum siaga tsunami

Potret keterbatasan dana momentum siaga tsunami
Ilustrasi gempa (AFP)

Jakarta (KANALACEH.COM) – Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho mengatakan bahwa gempa berpotensi tsunami yang menguncang Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Rabu (2/3), harus dijadikan momentum.

Pemerintah didorong untuk meningkatkan kesiapsiagaan mendeteksi dan menghadapi terjadinya tsunami.

Sutopo mengungkapkan, di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat digulirkan program pengurangan risiko bencana tsunami. Program ini merupakan bagian dari masterplan penanggulangan bencana nasional. Tetapi, program tersebut hanya berjalan singkat.

Dimulai pada 2013, dan berakhir pada 2014. Program tidak dilanjutkan karena keterbatasan anggaran.

“Ini momentum pemerintah untuk melanjutkan pelaksanaan masterplan,” kata Sutopo di Graha BNPB, Jakarta, Kamis (3/3).

Dalam masterplan penanggulangan bencana, seluruh kementerian/lembaga wajib membantu mengurangi risiko bencana tsunami.

Pendeteksi tsunami rusak
Rantai peringatan dini tsunami juga harus diperkuat, sejalan dengan pembangunan dan peningkatan tempat evakuasi sementara, penguatan kapasitas kesiapsiagaan, dan pembangunan kemandirian industri kebencanaan.

Industri kebencanaan dalam negeri juga perlu digenjot untuk menekan biaya pengadaan alat pendukung dari luar negeri, misalnya sirine dan buoy pendeteksi tsunami.

Menurut Sutopo, BMKG baru memasang sekitar 50 sirine di wilayah Aceh, Bengkulu, dan lainnya. Sirine canggih itu dapat dioperasionalkan dari Jakarta nonstop. Tetapi, jumlah sirine yang dimiliki BMKG masih jauh dari estimasi kebutuhan Indonesia yang memerlukan sedikitnya 1.000 unit sirine.

Bencana tsunami makin rentan menerpa masyarakat Indonesia karena minimnya buoy pendeteksi tsunami. Seluruh buoy tsunami milik Indonesia kini tidak dapat dioperasikan karena tidak dirawat atau dirusak oleh “oknum.”

Sutopo menuturkan, Indonesia memiliki 22 buoy tsunami yang disebar di beberapa titik. Dari jumlah tersebut, hanya 8 buoy tsunami milik Indonesia, dan sisanya diperoleh dari bantuan Amerika Serikat, Jerman, dan Malaysia.

“Semuanya sudah tidak ada yang beroperasi,” ucapnya.

Ia mengungkapkan, pemeliharaan buoy tsunami sulit dilakukan karena tidak tersedia anggarannya. Diperlukan sekitar Rp 30 miliar dalam setahun untuk merawat 22 buoy tsunami di Indonesia.

Harga satu unit buoy tsunami buatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mencapai Rp 4 miliar. Sedangkan buoy tsunami buatan Jerman atau Amerika Serikat harganya bis mencapai Rp 8 miliar.

Keterbatasan Indonesia akan buoy tsunami makin diperparah oleh oknum yang sengaja melakukan perusakan. Buoy pernah diletakkan di Laut Banda pada April 2009, tapi lima bulan kemudian buoy itu ditemukan hanyut dalam keadaan rusak di arah utara Sulawesi.

“Kondisi ini menyulitkan untuk memastikan apakah tsunami terjadi atau tidak,” ungkap Sutopo.

Saat ini, masih terdapat lima buoy di lautan Indonesia. Buoy milik Thailad di laut Andaman, buoy India ada di Aceh, di Selatan Sumba terdapat dua buoy Australia, dan satu buoy lagi milik Amerika Serikat.

Kewaspadaan warga
BNPB mengimbau masyarakat mewaspadai bencana alam gempa bumi yang memicu tsunami. Banyak daerah di Indonesia yang berpotensi terpapar tsunami. Sutopo mencontohkan terjadinya gempa hebat berkekuatan 7,8 SR di kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Rabu (2/3) malam.

Dalam catatan BNPB, Mentawai masih tersandera energi gempa bumi yang besar, tetapi tidak diketahui waktu serta lokasi pasti potensi gempa tersebut.

Sutopo menuturkan, terdapat sedikitnya 386 kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 157 juta jiwa yang berpotensi terpapar gempa bumi. Dari jumlah tersebut, 3,8 juta jiwa rawan terpapar bencana tsunami.

Selanjutnya, terdapat 27,2 juta jiwa masyarakat yang rentan menjadi korban gempa bumi. Masyarakat kategori rentan di antaranya adalah lansia, ibu hamil, bayi/balita, dan penyandang disabilitas.

Dari kelompok masyarakat rentan ini, 700 ribu jiwa di antaranya dianggap rawan terpapar tsunami. Sutopo menegaskan, informasi ini diberikan untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap tsunami.

Masyarakat disarankan menyelamatkan diri ke dataran/tempat tinggi saat tsunami terjadi. Ketika di lautan, kecepatan tsunami dapat mencapai 800 km/jam. Kecepatan itu akan melambat saat gelombang mendekati pantai atau daratan. Setelah kecepatan melambat, gelombang tsunami akan semakin tinggi.

“Cepat sekali, seperti pesawat jet,” tuturnya.

Potensi tsunami muncul saat lokasi gempa berada di Investigator Fracture Zone (IFZ). Lokasi itu merupakan daerah pergeseran lempeng bumi. Gempa bumi besar selalu disusul dengan terjadinya gempa berskala kecil. Gempa susulan itu terjadi karena lempengan sedang mencari kestabilan. [Kompas]

Related posts