Indonesia akan kembali lakukan eksekusi hukuman mati

Jakarta (KANALACEH.COM) – Setahun yang lalu 29 April dini hari, eksekusi terhadap delapan terpidana mati kasus narkoba berlangsung di penjara Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.

Matius Arif Mirdjaja masih mengingat betul saat terakhir bersama dua sahabatnya, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, dua warga negara Australia, sekitar tiga jam sebelum eksekusi berlangsung.

“Ya itu momen yang sangat emosional karena Andrew dengan tegar berdoa bersama teman-temannya, dia masih bernyanyi lagu-lagu pujian dengan Myuran,” kata Matius.

“Kemudian dia bertumpang tangan berdoa kepada petugas, dia mengatakan aku mengampuni kamu, aku mencintai Indonesia, aku mengampuni yang kamu kerjakan, apa yang harus kamu kerjaan, dia berdoa untuk Brimob dan jaksa-jaksa. Tak ada rasa takut,” kenang Matius.

Andrew dan Myuran merupakan bagian dari sembilan warga Australia yang dihukum dalam kasus penyeludupan narkoba ke Bali, yang dikenal dengan Bali Nine.

Menjelang eksekusi keduanya sempat mengajukan gugatan perlawanan atas hukuman mati, tetapi ditolak pengadilan.

Mereka berdua dieksekusi pada hari yang sama dengan enam terpidana lainnya, yang sebagian besar warga asing dan hanya satu warga Indonesia.

Warga Filipina menanti eksekusi?
Tetapi, Mary Jane Veloso, warga Filipina yang masuk dalam daftar eksekusi kedua yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo, batal dieksekusi pada saat-saat terakhir.

Penundaan dilakukan atas permintaan pemerintah Filipina, setelah seorang yang mengaku merekrut Mary Jane untuk dijadikan kurir narkoba menyerahkan diri ke aparat Filipina.

Pengadilan kasus ini masih berlangsung dengan pemeriksaan para saksi dan korban lain yang nasibnya sama seperti Mary Jane karena direkrut dan tak tahu dirinya menjadi kurir narkoba, jelas pengacara Mary Jane, Agus Salim.

Dia berharap putusan hakim di Filipina, nantinya dapat menjadi bukti baru dan membebaskan kliennya dari hukuman mati.

“Tinggal menunggu hasil putusan dari Filipina, lalu kita akan mengajukan upaya hukum di sini, apakah itu melalui PK atau mengajukan grasi lagi, tergantung konten putusannya seperti apa dan kondisi di sini,” jelas Agus.

Kasus Mary Jane ini sempat mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan, agar warga Filipina yang diduga merupakan korban perdagangan orang dibebaskan dari hukuman mati.

Selain itu Sergei Areski Atlaoui, warga negara Prancis, juga batal dieksekusi mati tahun lalu karena mengajukan perlawanan terhadap putusan PTUN yang menolak gugatannya terhadap Keputusan Presiden tentang grasi.

Tanpa ‘sinetron’
Kejaksaan Agung mengungkapkan akan melakukan eksekusi terhadap 14 orang terpidana mati kasus narkoba pada tahun ini, meski tidak menyebutkan waktunya.

Sementara Menko Polhukam, Luhut Pandjaitan, sudah mengatakan hukuman mati akan diumumkan tiga hari sebelum pelaksanaan, untuk menghindari kegaduhan.

“Tidak ada sinetron seperti yang lalu lagi, itu kan tidak elok,” jelas Luhut pada wartawan Kamis (21/4) lalu.
Kegaduhan yang dimaksud Luhut adalah kritik dari berbagai kalangan di dalam dan luar negeri.

Dalam lawatan ke Jerman pekan lalu, kebijakan hukuman mati jadi salah satu topik pembahasan dalam pertemuan dengan Presiden Republik Federal Jerman, Joachim Gauck.

Dalam pertemuan itu Presiden Jokowi menyebut Indonesia berada dalam situasi darurat narkoba.

Belum ada evaluasi
Eksekusi mati mulai kembali dilakukan oleh pemerintah Joko Widodo pada 18 Januari 2015 lalu, terhadap enam orang terpidana mati, dengan tujuan untuk memberantas peredaran narkoba di Indonesia.

Sampai tahun ini tercatat 55 orang yang sudah divonis mati oleh pengadilan dalam kasus narkoba.

Pada April ini juga, delegasi Indonesia di PBB disebutkan mendapatkan cemoohan dari peserta rapat ketika menyatakan dukungan terhadap hukuman mati bagi pelaku perdagangan narkoba.

Meski hukuman mati sudah dilaksanakan sejak awal 2015, pada akhir tahun lalu Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan jumlah pecandu narkoba mengalami peningkatan tajam menjadi 5,9 juta orang.

Puri Kencana Putri dari Kontras mengatakan data itu menunjukkan pelaksanaan hukuman mati tidak efektif dan tidak menimbulkan efek jera seperti yang diharapkan pemerintah.

“Apakah kemudian eksekusi menjadi efektif menjawab keresahan pemerintah, keresahan presiden, saya percaya itu tidak menjawab 100 persen karena ternyata kita masih punya sistem hukum yang bolong-bolong,” jelasnya.

Dia mencontohkan kasus salah seorang terpidana mati kasus kepemilikan ganja, Zainal Abidin, yang tidak didampingi pengacara selama proses peradilan dan juga proses peninjauan kembalinya sempat tertunda selama 15 tahun.

Penyebabnya? Karena berkas perkaranya terselip di antara berkas-berkas lain di PN Palembang Sumatera Selatan.
Puri menilai pemerintah juga tidak pernah secara terbuka melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan hukuman mati ini dan berpendapat pelaksanaan hukuman mati di Indonesia lebih sebagai keputusan politik. [CNN Indonesia]

Related posts