Kekeringan, petani di Pidie gali sumur bor tradisional di sawah

Warga menggali sumur bor tradisional di tengah lahan persawahan dengan kedalaman mencapai 20 meter lebih di Desa Palong, Kecamatan Glumpang Baroe, Pidie, Senin (2/5). (Kanal Aceh/Rajali Samidan)

Pidie (KANALACEH.COM) – Demi menyelamatkan puluhan hektare sawah yang kini terancam gagal panen karena kekeringan, Warga Desa Palong, Kecamatan Glumpang Baroe, Pidie yang mayoritas berprofesi sebagai petani terpaksa menggali sumur bor tradisional di tengah lahan persawahan dengan kedalaman mencapai 20 meter lebih.

Luas lahan tanam produktif di Desa Palong tercatat seluas 35 hektare sawah dan 96 hektare tambak. Semua areal sawah di desa itu merupakan lahan tadah hujan.

Bukhari, 40 tahun, salah seorang petani di Desa Palong mengaku dalam beberapa hari terakhir harus menggali sumur secara manual di lahan persawahan. Ia baru menemukan sumber air di kedalaman 20 meter lebih.

Bukhari berharap sumur bor tradisional tersebut kelak akan bisa mengairi sawahnya yang terancam kering karena kekurangan air sejak musim tanam padi.

Untuk menyedot air dari dalam sumur bor tradisional tersebut, Bukhari harus membeli mesin pompa air standar seharga Rp3 juta, belum termasuk pipa dan peralatan lainnya.

“Kami berharap sumber air bisa menyelamatkan padi dari ancaman kemarau yang mengakibatkan kekeringan,” harapnya.

Perihal serupa disampaikan Muntadir. Ia mengatakan penggunaan sumur bor tradisional beberapa waktu terakhir semakin banyak. Warga terpaksa membangun sumur bor tradisional yang baru di setiap petak lahan pertanian lantaran tidak ada air untuk mengairi sawah mereka.

“Biasanya desa-desa di pesisir ini mengandalkan aliran air dari Sungai Tiro. Tapi karena kemarau, air sungai mulai kering sehingga pembagian jatah air agak sulit mengalir. Penjaga pintu air juga sering buka tutup, sehingga kami terpaksa membuat sumur bor tradisional,” kata Muntadir kepada Kanalaceh.com, Senin (2/5).

Ia mengungkapkan saat ini, kondisi tanaman padi semakin parah karena sedang memerlukan suplai air yang banyak, sementara air tak ada.

“Sawah kami jauh dari aliran sungai dan aliran irigasi tidak memadai. Jadi kami hanya mengandalkan hujan untuk mengairi sawah kami. Saat musim kemarau, sebagian besar petani di sini, ya bisa gagal panen,” keluhnya.

Pada awalnya, kata Muntadir, petani hanya menanam tanaman seperti kacang tanah atau jagung. Karena menurut Muntadir, pada saat musim kemarau tiba, jagung dan kacang adalah tanaman yang konsumsi airnya tidak begitu banyak.

“Namun, karena saat ini harga padi yang menurut para petani paling menjanjikan dan paling stabil, mereka memilih tanam padi. Meskipun modal yang dikeluarkan banyak, mereka tetap menanam padi pada musim kemarau dan berharap turun hujan walau hanya sesekali.”

Sayangnya, para petani tak menyangka kemarau yang terjadi kali ini bisa seperti ini yang membuat mereka terancam gagal panen.

“Kami berharap Pemkab Pidie dan instansi terkait agar memerhatikan nasib dan keluhan para petani dan memikirkan pembangunan saluran irigasi. Karena setiap musim tanam, petani selalu kesulitan air. Ini membuat petani rugi akibat tanaman padi tidak cukup air dan terancam gagal panen,” harap Muntadir. [Rajali Samidan]

Related posts