Pengelolaan zakat di Aceh dinilai masih menuai polemik

Kepala Baitul Mal Aceh, Armiadi Musa (dua dari kiri) Wakil Dekan ll FH Unsyiah, Mahdi Syahbandir (dua dari kanan), dan Anggota DPRA, Bardan Sahidi (kanan) saat mengisi seminar zakat di Auditorium FH Unsyiah, Banda Aceh, Rabu, (18/5). (Kanal Aceh/Fahzian Aldevan)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Kepala Baitul Mal Aceh, Armiadi Musa mengatakan, sistem pengelolaan zakat di Aceh sampai saat ini dinilai masih menuai polemik yang berkepanjangan.

“Masih terjadi kekaburan dalam hal tanggung jawab pengelolaan zakat antara Badan Pelaksana Baitul Mal sebagai lembaga independen resmi yang dibentuk,” kata Armiadi Musa dalam seminar dengan tema Zakat Masih Menuai Polemik dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Auditorium Fakultas Hukum Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh, Rabu (18/5).

Lanjutnya, pengaturan jumlah penerimaan dan pengeluaran dana dalam mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) menurutnya masih reatif ketat.

“Pengesahannya pun antara DPRA dan gubernur adalah sebuah pegangan dan tidak bisa diubah, kecuali lewat mekanisme tersendiri melalui revisi anggaran yang prosedurnya relatif rumit,” tambahnya.

Sementara itu, anggota DPRA, Bardan Sahidi menyataan pengelolaan zakat seharusnya sudah dipisahkan dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD).

“Kalau di pajak, namanya upah pungut dan kalau di Baitul Mal namanya amil. Seharusnya zakat dipisahkan dengan PAD, karena bisa saya katakan itu sangat sekuler,” ujarnya.

Menurutnya, zakat merupakan hal yang sangat penting dan berharap bisa dikelola dengan sistem yang lebih baik.

“Zakat dalam dokrin kita ialah membersihkan diri sebenarnya, maka ke depan untuk zakat itu sendiri harus sepenuhnya dipegang oleh Baitul Mal, untuk membangun regulasi yang tepat, dan mudah-mudahan mampu membuat qanun yang betul-betul sehat,” harapnya.

Wakil Dekan II FH Unsyiah, Mahdi Syahbandir mengatakan bahwa secara hukum sangat tegas dijelaskan zakat dimasukkan ke dalam PAD. “Dan peraturan itu hanya ada di daerah kita,” katanya.

Maka dengan begitu, Mahdi memberikan alterntif  dalam pengelolaan zakat itu sendiri.

“Bisa kita lihat pada UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara membuka koridor baru bagi penerapan basis kinerja di lingkungan pemerintah, dan itu sebenarnya bisa menjadi jalan altenatif terkait persoalan zakat,” katanya. [Fahzian Aldevan]

Related posts