Pemerintah dan DPR didesak bahas RUU Perlindungan PRT

Jakarta (KANALACEH.COM) – Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) berharap pemerintah dan DPR RI segera membahas dan mengesahkan rancangan Undang-undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan ratifikasi ILO 189 tentang PRT.

 

Komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherawati mengatakan, pemerintah harus menyiapkan peraturan dan kebijakan yang memberikan proteksi pada pekerja rumah tangga dan sektor kerjanya, agar dapat bersaing secara sehat di kawasan ASEAN.

Oleh karena itu, ratifikasi Konvensi ILO 189 dan pembahasan RUU Perlindungan PRT harus segera dilakukan.

“Selain itu, pengakuan dan perlindungan PRT di dalam negeri akan memberikan kepastian hukum yang jelas bagi pemberi kerja dan menjadi jaminan pekerjaan yang layak bagi PRT,” ungkap Sri, Kamis (16/6).

RUU Perlindungan PRT dan ratifikasi itu diharapkan bisa menjadi payung hukum dan memberikan kepastian hukum untuk mengakui PRT sebagai pekerja, menciptakan situasi kerja yang layak dan menguntungkan kedua belah pihak yaitu pemberi kerja, majikan dan PRT.

Tidak hanya itu, Komnas Perempuan juga merekomendasikan aparat penegak hukum untuk mengusut dan memproses hingga selesai, kasus-kasus penyiksaan dan penganiayaan PRT yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia.

Sri menambahkan, upaya pemerintah untuk menciptakan pekerjaan yang layak bagi PRT masih jauh dari harapan. Pembahasan RUU Perlindungan PRT juga berjalan sangat lambat, bahkan sempat tidak menjadi prioritas pembahasan di DPR.

Sementara itu, inisiatif baik untuk menerbitkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Nomor 2 Tahun 2015, ternyata tidak diimplementasikan. Sebab, substansinya tidak cukup menjawab kebutuhan perlindungan dan pengakuan bagi PRT.

“Pada saat yang sama, muncul kebijakan baru yang justru berpotensi mendiskriminasi pekerja dan pekerjaan rumah tangga yaitu: Peta Jalan Nol Pekerja Rumah Tangga pada tahun 2017 (road map zero domestic workers 2017) dalam penempatan buruh migran Indonesia ke luar negeri,” kata dia.

Road map zero domestic workers 2017 dinilai berpotensi menjadi masalah baru, karena menghambat hak warga untuk bekerja ke luar negeri. Padahal, persoalan-persoalan yang mendorong terjadinya migrasi yaitu kemiskinan belum dapat diselesaikan.

Lebih dari itu, program zero domestic workers 2017, justru bertentangan dengan standar internasional yang sudah mengakui dan melindungi pekerja rumah tangga sebagaimana pekerja lainnya. Berbanding lurus dengan hal tersebut, kasus-kasus kekerasan, eksploitasi dan perselisihan kerja yang dialami oleh PRT semakin meningkat. [Metrotvnews]

Related posts