KPK ungkap pelanggaran dana kampanye Pilkada 2015

Deputi bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi, Pahala Nainggolan, merilis hasil riset terkait soal pendanaan kampanye pasangan calon kepala daerah setelah penyelenggaraan Pilkada pada Desember 2015 lalu, di gedung KPK, Rabu (29/6). (Kompas)

Jakarta (KANALACEH.COM) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis hasil riset terkait pendanaan kampanye pasangan calon kepala daerah dalam penyelenggaraan Pilkada pada Desember 2015 lalu.

Dalam riset tersebut, KPK menyoroti Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK).

Hasil temuan itu didapat setelah KPK mewawancarai 286 pasangan perserta pilkada yang gagal terpilih.

Deputi bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pahala Nainggolan memaparkan bahwa KPK menemukan adanya ketidakpatuhan pasangan calon peserta Pilkada dalam menyerahkan LPPDK.

Menurutnya, sebanyak 20 persen responden yang diwawancarai ternyata tidak melaporkan LPPDK.

Sementara LPPDK yang diserahkan pun seringkali tidak sepenuhnya sesuai dengan penggunaan dana.

“Banyak yang melanggar batas besaran sumbangan untuk dana kampanye yang ditentukan dalam undang-undang. Laporan yang disampaikan pun tidak utuh dan tidak akurat. Sebanyak 20 persen yang kami wawancarai ternyata tidak melaporkan LPPDK,” ujar Pahala saat memberikan keterangan pers di gedung KPK, Rabu (29/6).

Selain itu, KPK juga menemukan ada dana lain yang nilainya besar tapi tidak dicantumkan dalam LPPDK. Dana tersebut dikeluarkan pasangan calon pada sebelum dan sesudah masa kampanye.

Sebelum masa kampanye, kata Pahala, pasangan calon biasanya mengeluarkan uang sebagai mahar ke partai politik dan sesudah kampanye mereka mengeluarkan biaya untuk membayar saksi di TPS.

Pahala menuturkan, berdasarkan keterangan salah satu responden, biaya pilkada di luar kampanye tersebut memiliki pengaruh signifikan terhadap total biaya pilkada yang dikeluarkan pasangan calon.

Biaya saksi bisa mencapai Rp 2 miliar. Sedangkan biaya terbesar adalah mahar partai politik yang dihitung berdasarkan jumlah kursi di DPRD.

Menurut Pahala biaya yang dikeluarkan pun jumlahnya berbeda antara pasangan calon yang dipinang partai dan yang meminang partai.

“Paling besar biaya pilkada berasal dari biaya mahal dan biaya saksi. Biaya untuk saksi di TPS bisa mencapai Rp 2 miliar. Yang terbesar dana mahar berdasarkan jumlah kursi,” kata Pahala.

Berdasar pada hasil riset tersebut, KPK menilai perlu adanya perubahan regulasi terkait pengaturan mengenai penerimaan dana kampanye dan LPPDK.

Pertama, KPK mengusulkan kepada Komisi Pemilihan Umum untuk mengubah atau memperluas definisi dana kampanye.

Pengertian dana kampanye sebaiknya tidak hanya fokus pada dana yang dikeluarkan selama masa kampanye, tapi mencakup dana yang dikeluarkan sebelum dan sesudahnya.

Hal tersebut, menurut Pahala, bertujuan untuk mengantisipasi biaya mahar dan sesudah masa kampanye untuk mengantisipasi biaya saksi dan biaya sengketa.

Kedua, KPK meminta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) agar memperkuat peran dalam pelaksanaan Pilkada sehingga pemberian uang dari pasangan calon kepada saksi yang ada di TPS bisa diminimalisasi.

Ketiga, Kementerian Dalam Negeri dan DPR harus mencantumkan sanksi diskualifikasi kepada para calon pasangan yang tidak patuh dalam memberikan LPPDK.

“Kami melihat laporan penerimaan sumbangan dana kampanye dan penggunaan dana kampanye belum efektif dijalankan. Kami duga karena sanksinya kurang keras. Kalaupun ada sanksi, penegakan hukumnya juga belum konsisten,” ungkap Pahala. [Kompas]

Related posts