Pemerintah Aceh harus ubah sistem pembinaan atlet

Tapaktuan (KANALACEH.COM) – Praktisi olahraga, Bestari Raden menyatakan Pemerintah Aceh agar merubah sistem pembinaan dan pelatihan atlet untuk meningkatkan prestasi daerah di tingkat nasional dan internasional.

“Jika ingin prestasi Aceh menjadi lebih baik lagi ke depannya, maka langkah yang harus dilakukan adalah segera memperbaiki sistem pembinaan dan pelatihan terhadap atlet seluruh cabang olah raga,” katanya saat dihubungi di Tapaktuan, Selasa (27/9).

Dikatakan, meskipun hasil klasemen akhir perolehan medali pada PON XIX Jawa Barat, posisi Aceh naik ke peringkat 18 dibandingkan pada PON Riau tahun 2012 diperingkat 25, namun dinilai masih juga belum begitu menggembirakan dibandingkan dengan daerah lainnya.

Bestari Raden yang juga pelatih atletik di PON Jabar itu mengatakan, masih rendahnya prestasi Aceh di ajang PON Jawa Barat tahun 2016 tidak terlepas dari belum maksimalnya sistem pembinaan terhadap atlet.

Menurutnya, sistem pembinaan atlet yang diterapkan oleh Pemerintah Aceh selama ini masih jauh dari kata memuaskan atau tidak maksimal.

Hal itu dapat dibuktikan dari sistem pembinaan dan pemusatan pelatihan atlet Aceh yang baru dilakukan menjelang berlangsungnya PON.

Anehnya lagi, lanjut Bestari, disamping masa pembinaan atlet yang dilakukan sangat singkat juga ada perbedaan masa pemusatan latihan terhadap masing-masing atlet yang meraih medali pada ajang Pekan Olah Raga Wilayah (Porwil) dan Kejuaraan Nasional (Kejurnas) dimana masing-masing atlet yang mampu meraih medali dimaksud secara otomatis lolos menjadi atlet PON.

Menurut Bestari, terhadap atlet Aceh yang mampu meraih medali emas pada ajang Porwil dan Kejurnas dilakukan pemusatan latihan (TC) selama tujuh bulan, sedangkan atlet yang meraih medali perunggu pada ajang Porwil atau Kejurnas dilakukan pemusatan latihan selama lima bulan sementara terhadap atlet yang meraih medali perak dilakukan pemusatan latihan selama dua bulan.

“Perbedaan masa pemusatan latihan ini jelas-jelas sangat merugikan bagi atlet itu sendiri. Sebab belum tentu atlet yang mampu meraih medali emas pada ajang Porwil atau Kejurnas secara otomatis meraih medali emas juga pada ajang PON demikian juga sebaliknya, sehingga tidak wajar diterapkan perbedaan masa pemusatan latihan,” kritik Bestari.

Di daerah lain di Indonesia khususnya daerah yang berada dalam pulau sumatera, sambung Bestari, sistem atau cara pembinaan atlet seperti ini sudah tidak dikenal lagi.

Sebab, lanjut dia, daerah lain disamping tidak diberlakukan perbedaan masa pemusatan latihan juga waktunya tidak terlalu kepepet karena pemusatan latihan atlet sudah mulai dilakukan selama satu tahun sebelum berlangsungnya PON.

“Contoh konkritnya dapat kita lihat pada provinsi tetangga Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Selama satu tahun sebelum berlangsungnya PON, mereka sudah mengumpulkan seluruh atlet pada suatu tempat untuk dilakukan pemusatan latihan. Kondisi berbanding terbalik justru masih diterapkan oleh Pemerintah Aceh dimana disamping ada perbedaan masa pemusatan latihan juga masa pembinaan yang dilakukan paling lama hanya tujuh bulan,” sesal Bestari.

Disamping itu, Bestari juga menilai bahwa keseriusan Pemerintah Aceh dan pihak DPRA dalam meningkatkan prestasi atlet Aceh juga belum memuaskan. Hal itu dapat dibuktikan dari minimnya anggaran yang dialokasikan untuk pembinaan atlet di daerah itu.

Salah satunya, kata dia, tempat tinggal (mess) terhadap atlet yang melakukan pemusatan latihan hanya tersedia di Gedung Diklat PPLP Lhong Raya, Banda Aceh, padahal tempat tersebut khusus diperuntukkan terhadap pelajar yang sekaligus atlet Cabang Olah Raga Sepakbola.

“Dengan sarana dan prasarana yang tersedia hanya seperti itu, maka secara otomatis program pembinaan terhadap atlet yang akan mengikuti seluruh cabang olah raga pada ajang PON tidak akan maksimal. Jika kita bandingkan dengan daerah lain, para atlet yang sedang melakukan pemusatan latihan khusus ditempatkan pada suatu tempat yang memang sudah dipersiapkan sebelumnya secara matang, sehingga hasil yang didapatkanpun benar-benar maksimal bukan asal-asalan,” ujarnya.

Akibat masih minimnya perhatian Pemerintah Aceh terhadap peningkatan prestasi olah raga, kata Bestari, secara otomatis juga berimbas kepada lemahnya semangat atau motivasi pada atlet di Aceh sehingga semangat juang mereka sangat jauh berbeda dengan para atlet dari luar daerah.

Sebab, kata dia, Pemerintah daerah lain di Indonesia benar-benar memperhatikan masa depan para atletnya baik yang berhasil meraih prestasi maupun yang tidak meraih prestasi, sehingga disaat selesai PON mereka terlihat masih tetap bersama melaksanakan latihan untuk meningkatkan kemampuannya.

“Di daerah lain itu, para atletnya benar-benar dibina, jika yang masih bersekolah maka difasilitasi atlet bersangkutan untuk menyelesaikan pendidikannya bahkan sampai mencari pekerjaan. Sementara jika dilihat di Provinsi Aceh, setelah selesai PON maka antara pelatih dengan atlet langsung berpisah tidak bersama lagi, sehingga kelanjutan pembinaannya tidak berjalan lagi secara maksimal,” ujar Bestari.

Karena itu, jika prestasi olah raga ingin meningkat ke depannya maka Bestari Raden mengharapkan kepada Pemerintah Aceh melalui para pelatih yang ditunjuk termasuk dinas terkait agar segera merubah sistem pembinaan terhadap atlet termasuk harus bersedia mengalokasikan anggaran yang maksimal untuk peningkatan pembinaan olah raga. [Antara]

Related posts