Situs bersejarah, bukti kejayaan Aceh tempo dulu

(ist)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Peranan dan interaksi Aceh dalam komunitas dan perdagangan internasional sejak ratusan tahun lalu terbukti dari penemuan situs bersejarah yang ada di Aceh. Ada banyak peneliti sejarah Aceh yang mengkaji dan meneliti hasil temuan mereka berdasarkan benda-benda peninggalan masa lalu.

Salah satunya hasil kajian tersebut dipaparkan oleh Ed McKinnon dan Dr.Yewseng, pada konferensi internasional The 1st International Conference on Islamic Studies (ARICIS I) yang berlangsung di UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Kamis (27/10).

Walaupun belum berada posisi kesimpulan akhir, riset yang mengambil sampel di Kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh, meliputi 43 desa di pinggiran pantai, juga bertujuan untuk mengkaji dampak dari sejarah tsunami di beberapa wilayah ini selama beberapa millenium terakhir.

Menurut Ed Mckinnon, ada tiga kategori utama nisan yang ditemukan di beberapa desa. Yang pertama adalah Nisan Plang Pleng, yang diidentifikasi berasal dari akhir abad ke-13 hingga tahun 1480an. Yang kedua adalah Batu Aceh, yang berasal pada tahun 1480-an hingga abad ke 19. Dan, Batu Sakrah, atau batu sungai.

“Saat ini kami sudah mencatat sebanyak 5.077 batu nisan, termasuk 35 nisan Plang Pleng,” papar peneliti yang berasal dari Earth Observatory Singapore (EOS), Nanyang Technological University, Singapura.

Sementara itu, partnernya lain dari EOS, Dr.Yewseng memaparkan jenis-jenis keramik masa lalu yang ditemukan di Aceh. Contohnya keramik Cina yang ditemukan di beberapa daerah di Aceh ternyata berasal dari berbagai provinsi di Cina, yang diperkirakan berasal dari abad ke 12.

“Hal ini mengungkapkan, bahwa sejak abad tersebut Aceh sudah melakukan transaksi dan perdagangan secara internasional,” ujarnya.

Tidak hanya dari Cina, benda peninggalan bersejarah seperti itu juga dipastikan berasal dari negara-negara lain seperti Jepang, Burma (sekarang Myanmar), Jerman, hingga Inggris, pada abad ke 19.

Sementara itu, salah seorang pembicara, Izziah, Ph.D, dosen arsitektur dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh memaparkan hasil penelitiannya tentang keunikan lingkungan kota dan desa Aceh yang memiliki kekayakaan tradisi budayanya. Kajian yang dilakukan oleh pakar arsitektur wanita ini lebih menitikberatkan pada perkembangan masjid di Aceh sejak era pra-kolonial hinga pasca kolonial.

“Hasil kajian kami menyimpulkan bawa isu-isu tentang lintas budaya, perpaduan aspek sosial dan aspek politik memiliki berbagai dampak dalam bentuk masjid-masjid di Aceh” ungkapnya.

Selain kajian tentang interaksi sejarah Aceh dengan peradaban dunia, salah seorang pembicara kunci lain, Dr.Imtiyaz Yusuf, akademisi dan direktur pada Center for Buddhist-Muslim Understanding, Universitas Mahidol Thailand, memaparkan tentang peradaban dan agama-agama masyarakat Asia saat ini. Kajian Dr.Imtiyaz lebih memfokuskan pada interaksi dan dialog antara umat muslim dan budha.

Konferensi internasional ARICIS 1, yang berlangsung sejak tanggal 26 hingga 27 Oktober 2016 merupakan perhelatan ilmiah akbar pertama yang menggabungkan berbagai disiplin ilmu dan kajian Islam. Para ahli dan akademisi baik pada tataran nasional dan internasional memaparkan hasil kajian mereka baik yang berkaitan dengan ilmu sosial seperti pendidikan, filsafat, sejarah, ekonomi, hingga kajian-kajian ilmu alam.

“Kami berharap pertemuan ilmiah seperti ini tidak berhenti di sini. Insya Allah kita akan tetap mengadakan konferensi ilmiah bertaraf internasional seperti yang sudah kita laksanakan saat ini,” Prof Eka Sri Mulyani. [Randi/rel]

Related posts