Anjungan Aceh di TMII butuh sarana transportasi

Anjungan Rumoh Aceh, TMII. (Antara)

Jakarta (KANALACEH.COM)– Anjungan Provinsi Aceh di kawasan Taman Mini Indonesiah Indah (TMII) sangat membutuhkan sarana mobilisasi keliling, sehingga dapat membangkitkan utusan kesenian ketika tampil diluar kawasan.

”Alangkah indahnya kalau anjungan Aceh di TMII ini memiliki sebuah mobil keliling untuk membangkitkan kembali semangat bahwa Aceh itu ada,” kata kepala pelaksana harian Anjungan Aceh, Cut Putri Alyanur di kawasan TMII, Jakarta Selatan, belum lama ini.

Cut Putri menambahkan, anjungan daerah lain seperti pemerintah provinsi Lampung, Bali dan anjungan pemerintah provinsi Sumatera Barat sudah memiliki mobilisasi keliling dengan menempalkan logo daerah masing-masing untuk memudahkan transportasi kesenian.

”Ini bukan semangat persaingan, tetapi pada waktu kita keluar kawasan membawa utusan kesenian dengan mengunakan alat transportasi berlambang Aceh tentu menjadi lebih indah dan bersemangat khususnya bagi barisan kesenian dan budaya Aceh,” katanya.

Apalagi, kata dia, anjungan Aceh salah satu anjungan dengan kontinuitas tinggi diwilayah TMII. Aceh termasuk nomor 5 setelah anjungan Papua, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Kalimantan Tengah, namun anjungan Aceh belum memiliki transportasi keliling.

”Kalau soal kegiatan, berdasarkan laporan TMII tahun 2015 lalu, provinisi Aceh berada pada urutan 10 dari 34 provinsi di Indonesia. Sehingga pada tahun 2016 ini kita luar biasa datang pengunjungnya, baik secara kuantitas maupun secara kualitas,” katanya.

Secara kuantitas, kata dia, bisa dihimpun dan dibuktikan berdasarkan data adiministrasi dan rekapitulasi buku tamu anjungan, sedangkan secara kualitas bisa dilihat dari kegiatan yang dilaksanakan selama ini baik secara promotor kegiatan maupun mitra kerjasama.

”Tahun ini kita ada beberapa kegiatan yang sifatnya dikelola oleh pemerintah dan kerjasama. Antara lain kerjasama dengan pemerintah Arab Saudi dan kementerian Keuangan Korea Selatan. 5 ribu eks tiket gratis yang diberikan TMII habis, belum lagi yang dibeli sendiri,” katanya.

Tidak sedikit para pengunjung mengatakan anjungan Aceh sudah mulai lusuh akibat sudah tua. Lusuh atau supaknya anjungan Aceh kata dia, bukanlah penyebab kurangnya kreatifitas petugas. Akan tetapi, kreatifitas yang diberikan selama ini sudah tertutup dengan lamanya anjungan yang baru direnovasi.

Oleh karena itu, Ia menghimbau para pemangku kebijakan di provinsi Aceh agar mau datang menjenguk serta merealisasi anggaran untuk renovasi atau pemeliharaan rumah Cut Mutia di anjungan TMII yang semakin hari semakin lapuk ditelan usia.

”Bayangkan saja, umur rumah cut mutia ini sudah lebih dari 198 tahun. Jadi, masyarakat perlu kita sampaikan bahwa kami disini bukan hanya tugas sebagai kadam, pemandu ataupun pelayan, tetapi kami juga harus memikirkan bagaimana renovasi yang mulai ambruk ini,” katanya.

Ia berharap, pemerintah Aceh secepat mungkin mengalokasikan anggaran untuk renovasi rumah adat tersebut, supaya rumah asli Cut Mutia di anjongan TMII dapat terpelihara dengan baik sepanjang massa.

”Rumah Cut Mutia ini bukanlah milik kabupaten semata, akan tetapi pemeliharaan rumah adat ini juga tanggungjawab pemerintah provinsi khusunya semua masyarakat Aceh,” demikian Cut Putri Alyanur. [Antara]

Related posts