Ini empat poin jawaban Jaksa atas keberatan Ahok

Terdakwa kasus dugaan penistaan agama, Basuki Tjahja Purnama atau Ahok menjalani sidang lanjutan yang menjeratnya di ruang sidang Koesumah Atmadja, Eks Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (20/12). (republika)

Jakarta (KANALACEH.COM) – Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) kasus dugaan penistaan agama yang menjerat terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok memberikan empat point jawaban pendapat  terkait nota keberatan atau eksepsi yang dibacakan oleh Ahok pada, Selasa (13/12) pekan lalu.

Pada Selasa (20/12), bertempat di ruang sidang Koesumah Atmadja, Eks Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, JPU, Ali Mukartono menjabarkan empat point tanggapan dari eksepsi yang diajukan Mantan Bupati Belitung Timur itu.

Point pertama terkait ada atau tidaknya niat pejawat tersebut untuk menistakan agama Islam, tim JPU menilai ada tidaknya niat satu perbuatan tidak cukup berdasarkan pernyataan tidak memiliki niat. Tetapi haruslah berkaitan dengan keterhubungan peristiwa maupun tujuan.

Ia menambahkan, oleh karena terdakwa sudah terdaftar mengikuti Pilkada ketika sambutan sengaja memasukan kalimat yang berkaitan agenda pemilihan gubernur. Dari rumusan surat dakwaan ada rangkaian, terdakwa menganut agama Kristen dan ucapan tersebut dilakukan saat kunjungan kerja sebagai Gubernur DKI ke Kepulauan Seribu.

“Terdakwa dengan sengaja menyampaikan kepada warga yang mayoritas agama Islam. Dari rangkaian peristiwa tersebut tidak dapat dipisahkan niat menempatkan surah Al-Maidah ayat 51 menjadi sarana membohongi, membodohi dalam mengikuti pilkada, bagian dari unsur kesengajaan akan dibuktikan pada tahap persidangan berikutnya,” jelas Ali.

Kedua, lanjut Ali, terdakwa mengumbar pencapaian kerja dan kebijakannya yang peduli dengan kegiatan keagamaan umat Islam selama menjabat menjadi Gubernur DKI. Menanggapi hal tersebut, menurut tim JPU, hal tersebut adalah hal yang wajar dan biasa dikerjakan oleh para pejabat publik dimanapun mereka berada.

“Hal tersebut, tidak bisa dijadikan alasan pembenaran. Keberatan ini sudah masuk ke materi perkara yang akan ada di sidang selanjutnya,” ucapnya.

Ketiga, tentang surah Al Maidah ayat 51 yang hanya ditujukan pada politisi dalam rangka persaingan pilkada. Ahok mengaku pernyataan itu untuk lawan politiknya yang takut bersaing menggunakan program. Oleh karena itu lawan politik menggunakan Surah Al-Maidah ayat 51 untuk mempengaruhi warga dengan konsep ‘seiman’ untuk tidak memilih Ahok lawan politiknya itu pengecut.

Menanggapi ucapan tersebut, Ali berpendapat, Ahok merasa paling benar. Menurut Ali, merupakan hak kandidat kepala daerah lainnya untuk menggunakan metode apapun. Selama metode itu sesuai dengan undang-undang.

“Kalau tidak melanggar perundang-undangan, tidak dapat dipersalahkan. Terdakwa menempatkan seolah tidak ada orang lain yang lebih baik dari terdakwa,” jelas Ali.

Point keempat, terkait tafsiran surah Al-Maidah ayat 51 yang menurut teman terdakwa diturunkan pada saat adanya orang muslim ingin membunuh Nabi Muhammad, dengan cara membuat koalisi dengan membuat kelompok nasrani dan Yahudi. Dalam memberi pendapatnya, Ali lebih memilih tidak memberikan pendapat.

“Pendapat kami, kami tidak bisa memberikan pendapat karena tidak bisa diklarifikasi sumbernya. Karena hanya berdasarkan dari jawaban teman-teman terdakwa,” jelasnya. [Republika]

Related posts