Calon Menlu Amerika terlibat pelanggaran HAM di Aceh?

Rex Wayne Tillerson. (Fortune.com

Washington DC (KANALACEH.COM) – Pekan ini parlemen Amerika Serikat, Kongres dan Senat, tengah mewawancai sejumlah calon menteri yang akan duduk dalam kabinet pemerintahan presiden terpilih Donald Trump. Salah satu sosok yang menarik perhatian banyak pihak adalah Rex Wayne Tillersonl, calon menteri luar negeri,  karena diduga terlibat pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Aceh.

Tak pernah berurusan dengan masalah diplomatik sebelumnya, pria berusia 64 tahun ini menghabiskan hampir seluruh karirnya di perusahaan minyak raksasa, Exxon Mobil. Selama 10 tahun terakhir, ia didapuk sebagai orang nomor satu di perusahaan minyak tersebut.

Sosok Tillerson menjadi kontroversial bagi jabatan menteri luar negeri Amerika Serikat karena sejumlah alasan. Selain kedekatannya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan minim pengalaman diplomatik, Tillerson kini  dikaitkan dengan pelanggaran HAM yang dilakukan perusahaannya di Aceh, Indonesia.

Hingga 2015 lalu, ladang gas di Provinsi Aceh, merupakan “permata” bagi perusahaan Exxon Mobil. Pada 1970-an, Mobil Corp.—yang bergabung dengan Exxon Corp. pada 1999—memperoleh hak eksklusif dari pemerintahan Suharto untuk menambang gas dengan perusahaan pemerintah Indonesia.

Sejak beroperasi, perusahaan ini telah menyewa militer untuk menjaga fasilitas di Aceh. Seiring pertempuran antara kelompok pemberontak Aceh dengan militer Indonesia pada 1990-an hingga awal 2000, sejumlah tentara yang bekerja untuk Exxon dituduh melakukan penyiksaan, menangkap, memperkosa hingga membunuh warga sekitar.

Tuduhan ini kemudian diajukan ke pengadilan Amerika Serikat oleh sejumlah korban pada 2001. Gugatan lain juga diajukan pada 2007. Pengadilan  belum menentukan masa persidangan karena pengacara korban kesulitan meminta visa agar mereka dapat bersaksi.

Banyak pihak khawatir penunjukkan Tillerson sebagai menteri luar negeri dapat mengancam proses persidangan. Sebab dengan dalih untuk menyelamatkan hubungan AS-Indonesia, Tillerson dapat meminta pengadilan untuk menghentikan persidangan.

Preseden ini pernah terjadi ketika Kementerian Luar Negeri AS pada 2002 mendesak pengadilan untuk melarang warga Indonesia menggugat Exxon Mobil. “Hal ini dapat menyebabkan masalah serius dalam hubungan kedua negara.”

Dalam pemeriksaan di Kongres pada Rabu lalu, Tillerson mengatakan, “Saya akan menghindari seluruh masalah terkait Exxon Mobil selama menjadi menlu.”

Salah satu saksi korban menyebut dirinya ditembak di lutut oleh petugas keamanan Exxon Mobil saat sedang mengendarai motor dari kebun tempatnya bekerja. Korban lain mengaku disterum di alat vitalnya. Sebelum dibebaskan, sang petugas memperlihatkan deretan kepala manusia dan mengancam akan menjadikannya, “Salah satu dari koleksi itu.”

Terry Collingsworth, pengacara para korban dari International Rights Advocates, menyatakan telah menemui  warga Aceh dengan keluhan serupa. “Menjawab pertanyaan saya, juru bicara Exxon Mobil membantah perusahaan terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia oleh tentara Indonesia selama konflik Aceh.”

Para penggugat asal Indonesia menyebut para petinggi Exxon Mobil di Texas tahu atau seharusnya mengetahui pelanggaran ini, namun tetap menyewa tentara untuk pengamanan perusahaan di Aceh.

Selama masa awal kasus penyiksaan di Aceh, Rex Tillerson, merupakan wakil presiden Exxon Mobil Development Company, anak perusahaan yang mengembangkan eksplorasi Exxon Mobil di seluruh dunia. Ia menjadi Wakil Presiden Senior Exxon Mobil Corp. pada 2001 dan menjadi orang nomor satu sejak 2006.

Exxon Mobil menegaskan Tillerson tidak bertanggung jawab atas tindak kekerasan di Aceh. Memang, Collingsworth, mengakui bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan ia memberi perintah terkait pelanggaran tentara di Aceh.

Namun sulit dimengerti jika Tillerson tidak mengetahui mengenai masalah ini. Kasus penyiksaan itu menjadi topik utama di sejumlah media besar Amerika Serikat, seperti Associated Press and the Wall Street Journal—sejak awal 1990-an. “Tidak ada satu pun orang di Aceh yang tidak mengetahui masalah ini,” ujar seorang bekas pejabat provinsi Aceh kepada BusinessWeek pada 1998.

Pada 2001, majalah Time menulis laporan, “Warga Aceh membentuk barisan untuk menceritakan kepada kami tentang penyiksaan dan pembunuhan yang dilakukan tentara Indonesia untuk Exxon.”

“Entah dia tahu atau tidak memiliki kendali yang cukup untuk menghentikan pelanggaran kemanusiaan itu,” tutur Marco Simons, Direktur Legal kelompok advokasi EarthRights International. Lembaga ini memberikan dukungan kepada para korban pada 2010 silam.

Setelah gugatan pertama diajukan pada 2001, pelanggaran HAM terus berlanjut hingga tsunami dasyat menghentikan perang pada 2004.

Exxon tetap menyewa tentara Indonesia setelah tsunami. Pada 2005, pemilik saham Exxon Mobil meminta keterangan soal penggunaan tentara sebagai pengamanan di Aceh, tetapi ditolak oleh dewan direktur.

Pada 2006, Tillerson mengambil alih jabatan tertinggi di Exxon Mobil. Perusahaan tetap menyewa militer hingga 2007. “Tergugat menolak tuntutan untuk menyelidiki, memperbaiki atau menghentikan aksi penyiksaan aparat pengamanannya,” demikian pernyataan gugatan terbaru.

Pada 2015, ExxonMobil menjual seluruh sahamnya kepada Pertamina.

Beberapa tahun sebelumnya, Tillerson dan sejumlah eksekutif Exxon Mobil sempat bertemu dengan pejabat perusahaan di Indonesia, seperti bekas direktur Lucio Noto dan wakil presdir Harry Longwell. Mereka disebut membahas masalah ini tetapi tidak diketahui apa yang diucapkan Tillerson dalam pertemuan itu.

Collingsworth menegaskan kliennya masih menginginkan keadilan. “Rex Tillerson adalah bekas pemimpin tertinggi. Dia bisa mengatakan bahwa orang-orang ini terluka. Mengapa kita tidak membantunya.” [Tempo]

Related posts