Momok verifikasi media dan kompetensi wartawan

Oleh: Mohsa El Ramadan

TEMAN-teman, verifikasi terhadap perusahaan media cetak yang dilakukan oleh SPS sudah sesuai mandat yang telah diberikan oleh Dewan Pers. Artinya, jangan ada yang bilang apa urusan dan kewenangan SPS.

Kemudian, program verifikasi adalah mekanisme penyehatan pers Indonesia yang dilakukan oleh masyarakat pers sendiri sebagai langkah agar tidak ada kekuatan luar yang memaksa pers untuk menyehatkan diri. Jadi verifikasi ini untuk kepentingan kita sendiri, bukan untuk kepentingan siapapun.

Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam proses verifikasi, yaitu aspek legalitas, apakah pengelola media pers sudah berbadan hukum Indonesia dan aspek pemberitaan, apakah telah sesuai dengan kode etik jurnalistik.

Program verifikasi media ini bukan atas permintaan penguasa.

Kita bukan disuruh-suruh pemerintah karena kita bukan pesuruh mereka. Dewan Pers adalah lembaga negara yang independen, yang angggotanya dipilih oleh komunitas pers, bukan pansel DPR yang nuansanya politis. Begitu juga SPS adalah lembaga independen yang dipilih oleh komunitas pers.

Lalu, bagaimana soal Quick Response (QR) code? Nah, ini nantinya, menurut Dewan Pers, akan diberikan kepada media cetak dan online yang telah terverifikasi tersambung dengan pusat data Dewan Pers yang berisi data perusahaan media di Indonesia, sedangkan untuk media televisi dan radio akan mencantumkan sumber tanda terverifikasi pada program berita yang ditayangkan.

Perusahaan pers yang ingin institusinya terverifikasi harus memenuhi sejumlah syarat, di antaranya perusahaan berbentuk perseroan terbatas, harus mampu melindungi wartawan dalam pekerjaannya, berkomitmen memberikan pelatihan kepada wartawan, gaji 13 kali setahun sesuai upah minimum provinsi, dan meningkatkan kempetensi wartawannya.

SPS cuma mengimbau semua perusahaan pers yang telah menjadi anggota SPS untuk mendaftarkan diri mengikuti proses verifikasi, karena program ini bersifat sukarela. Hanya saja, ke depan, SPS hanya akan menerima anggota yang sudah lolos verifikasi.

Aku pikir teman-teman santai aja. Pilihan semua ada pada kita. Tujuan verifikasi dan kompetensi bukan membatasi orang untuk menjadi wartawan atau mendirikan media. Semua sudah reform, terbuka, bebas, silahkan saja. Tapi tentu tetap tunduk kepada aturan hukum.

Lalu, untuk apa verifikasi media dan kompetensi wartawan dilakukan? Nah, ini dia! Verifikasi dan kompetensi, sebenarnya, justru bertujuan meningkatkan harkat dan martabat kita sebagai wartawan. Karena dengan verifikasi media dan kompetensi wartawan akan membedakan kita dengan wartawan gak jelas atau dengan orang yang mengaku-ngaku wartawan.

Apakah ini “wajib”? Menurutku enggaklah, tapi semacam “Sunat Muakad”, sunat yg mendekati wajib; sangat dianjurkan. He he he. Bagi yg tidak ingin ikut verifikasi media dan kompetensi wartawan, ya, gak masalah.

Biarlah masyarakat pembaca yang menilainya mana media yang layak dia pilih untuk dibaca. Hanya saja, jika kelak dalam pemberitaan terjadi “delik pers”, kemudian medianya tdk memenuhi syarat sebagai sebuah media, tentu itu masuk ke ranahnya pidana dan UU ITE karena dianggap bukan produk jurnalistik. Sehingga kita tidak bisa berlindung di bawah UU No 40 Tahun 1999, Tentang Pers.

Barangkali ini sekadar masukan dan diskusi buat teman-teman untuk kita menjadi semakin matang dan dewasa ke depannya. Tidak perlu kita saling menuding dan menjatuhkan. Mari kita rapatkan barisan untuk menjaga agar profesi kita semakin profesional dan dihargai oleh siapapun.

Aku pikir begitu. Oke teman-teman, mari kita tunjukkan siapa diri kita dengan berkarya, bukan dengan bicara. Hehe. Selamat menuju menjadi wartawan profesional. Mohon maaf jika masukan ini ada yang keliru dan kurang tepat.

Salam Jurnalis

*Penulis merupakan Penguji Kompetensi Wartawan PWI Pusat.

Related posts