Pengamat: Mereka gunakan jurus UUPA sebagai ‘senjata pamungkas’ ketika terdesak

dr Pur: KPU saja berani, kenapa KIP di Aceh tidak
Ilustrasi UUPA. (Ist)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Pengamat politik dan keamanan Aceh, Aryos Nivada, mengatakan pernyataan sikap pengunduran diri para kader Partai Aceh (PA) di legislatif dan eksekutif dapat dipahami sebagai pola strategi politik lama yang diyakini mujarab dalam mempengaruhi proses hukum yang berjalan.

Hal ini dikatakannya merespon konferensi pers yang dikeluarkan oleh Wakil Ketua Komisi 1 DPRA, Azhari Cage bersama sejumlah pejabat di ruang pertemuan Fraksi Gerindra DPR RI, Jumat (17/3) kemarin.

“Saya katakan strategi politik klasik, karena pernah dilakukan di tahun 2012. Saat itu digunakan untuk tarik ulur di tahapan Pilkada. Banyak yang mengatakan dari pandangan publik Aceh UUPA sebagai senjata untuk menekan Pemerintah Pusat dan MK,” jelasnya.

Menariknya menurut Aryos, mereka selalu menggunakan jurus UUPA sebagai ‘senjata pamungkas’ ketika sudah terdesak. Ketika situasi menguntungkan dirinya, UUPA disimpan dan tidak digunakan.

Dirinya yakin pernyataan sikap DPRA itu pada dasarnya hanya bagian dari show off force saja. Secara logika politik upaya bagian strategi mengintervensi jalannya proses hukum di MK.

“Pernyataan mundur dari DPRA sebenarnya pola komunikasi untuk membangun bargaining politik dengan Pemerintah Pusat (nasional). Tapi harus dipahami Pemerintah Pusat maupun MK sendiri akan mematuhi proses hukum yang berlaku di Indonesia, khususnya terkait ketentuan regulasi Pilkada,” kata Aryos.

Dirinya menyakini tidak semua kader PA yang duduk di DPRA mau mundur, karena secara rasional mereka sudah berjuang mendapatkan sekaligus mereka juga memiliki kepentingan setelah menang di pemerintahan. “Terlepas bentuk kepentingan ekonomi maupun kekuasaan,” ungkapnya.

Aryos mengatakan, kondisi MK di periode kali ini akan sangat berhati-hati mengambil keputusan dan tidak akan mudah dipengaruhi oleh ancaman dan intervensi dari luar pengadilan. Meski demikian segala kemungkinan tetap bisa terjadi.

Namun, lanjutnya, publik masih percaya bahwa MK hari ini dalam menyidangkan perkara dan pengambilan keputusan tetap konsisten merujuk dan berpijak terhadap hukum berlaku di Indonesia.

Aryos menambahkan, ancaman mundur dari anggota DPRA itu juga dapat dilihat dari konteks mempengaruhi independensi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

“Padahal pengadilan berwibawa, mengandung arti bahwa pengadilan dipercaya sebagai lembaga peradilan yang memberikan perlindungan dan pelayanan hukum sehingga lembaga peradilan tegak dengan karisma sandaran keadilan masyarakat. Jadi bukan atas dasar desakan dan ancaman oleh pihak pihak diluar persidangan,” pungkasnya.

Terakhir, Aryos menyatakan desakan mundur anggota dewan tidak membuat pemerintah rugi dan masyarakat Aceh rugi juga.

“Saya dan publik Aceh ingin lihat konsistensi ucapan mereka untuk mundur. Malah memberikan berkah bagi kandidat partai lain untuk juga turut berkontribusi membangun Aceh. Muncul pertanyaan dipikiran saya apakah mereka konsisten terhadap keputusannya atau hanya strategi politik saja untuk menekan dan mempengaruhi agar kepentingan terhadap proses di MK tercapai,” demikian Aryos. [Aidil/rel]

Related posts