PSIP Unsyiah bahas polemik mutasi SKPA

PSIP Unsyiah bahas polemik mutasi SKPA

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Pusat Studi Ilmu Pemerintahan (PSIP) Universitas Syiah Kuala menggelar kegiatan dialog santai insan kampus di Darussalam, Banda Aceh, Kamis (16/3). Kegiatan tersebut mengambil tema “Mutasi Jabatan SKPA Paska Pilkada di Aceh (Aspek Hukum dan Efektifitas Pemerintahan).

Turut hadir sebagai narasumber dari perwakilan Pemerintah Aceh yaitu Asisten III Setda Aceh (Kamaruddin) dan Humas Setda Aceh (Mulyadi Nurdin). Selain itu juga hadir narasumber lainnya pakar hukum Mawardi Ismail. Dialog tersebut difasilitasi oleh Syaifuddin Bantasyam, akademisi Fakultas Hukum Unsyiah.

Ketua Pusat Studi Ilmu Pemerintahan (PSIP) Universitas Syiah Kuala, Kurniawan dalam sambutannya menyampaikan bahwa terlaksananya kegiatan tersebut merupakan manifestasi kontribusi Unsyiah untuk hadir membantu menyelesaikan berbagai permasalahan hukum dan kebijakan yang terjadi di daerah khususnya di Aceh.

Unsyiah melalui PSIP berinisiatif untuk mengurai secara jelas, tegas dan tuntas terhadap polemik berkepanjangan di Aceh terkait mutasi Kepala Dinas di lingkungan Setda Aceh dengan mendudukkan para pengambil kebijakan dan berbagai komponen masyarakat dalam suatu forum ilmiah berupa dialog kebijakan.

Turut juga hadir dalam Dialog tersebut para pakar/Akademisi Hukum Administrasi Negara (HAN) Unsyiah, Pakar/Akademisi Ilmu Pemerintahan FISIPOL Unsyiah, Para Ketua Pusat Studi di Lingkungan Unsyiah diantaranya Direktur ICAIOS (Zulfikar), PPISB, PSDP; dan lainnya, Perwakilan KODAM Iskandar Muda, Perwakilan Kantor Kemhan RI Wilayah Aceh, Badan Intelejen Negara (BIN), Ormas (PD – I FKPPI Aceh), Para perwakilan CSO di Aceh seperti FRAKSI Pilkada (Zubaidah Azwan); MaTA (Alfian); Aceh Institute (Muazzinah Yakob); MiSPI (Syarifah Rahmatillah), Organisasi Kemahasiswa (Pema Unsyiah; HmI Cabang Banda Aceh; KAMMI Aceh; Kohati Badko Aceh), para Tokoh Masyarakat (Tomas), serta perwakilan Wartawan/ Jurnalis dan beberapa media cetak dan Media on line dan beberapa Media TV.

Zainal Abidin, akademisi Fakultas Hukum Unsyiah berpandangan bahwa kewenangan Gubernur Aceh dalam melakukan pengangkatan dan pemberhentian pejabat eselon II belum bersifat final, melainkan masih memerlukan syarat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri).

Atas dasar itu, maka keputusan Gubernur Aceh tidak masuk dalam pengertian Keputusan (Beschikking) yang menjadi kewenangan PTUN untuk mengadili sengketa karena masih belum bersifat final sebagaimana yang disyaratkan dalam Hukum Administrasi Negara (HAN).

“Dengan demikian, keputusan Gubernur tersebut bersifat Quo (tanpa status alias abu-abu),” kata Zainal.

Sementara Kurniawan selaku Ketua PSIP Unsyiah yang juga akademisi hukum tata negara, mengatakan bahwa berdasarkan kajian hukum administrasi negara, dikenal azas atau prinsip hukum umum apa yang disebut Presumptio Justia Causa yang bermakna bahwa “setiap keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara (KTUN/Beschikking/Besluit) harus dipandang benar (meskipun tidak sesuai dengan proses/mekanisme sebagaimana yang telah diaur dalam peraturan perundang-undangan yang ada) sebelum adanya pembatalan oleh Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) berdasarkan rezim hukum UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN jo UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 5 Tahun 1986 atau sebelum dibatalkan oleh Pejabat yang telah mengeluarkan keputusan tersebut (dalam hal ini Gubernur Aceh).

Lanjutnya, adanya prosedur yang dilanggar, berdasarkan Hukum Administrasi Negara tidak menyebabkan batal dengan sendirinya (batal demi hukum) keputusan yang telah dikeluarkan oleh pejabat Tata Usaha Negara (dalam hal ini Gubernur Aceh).

“Hal ini mengingat dalam lapangan Hukum Administrasi Negara (HAN) dan Lapangan Hukum Tata Negara (HTN) tidak mengenal adanya istilah batal demi hukum,” ujar Kurniawan.

Menurutnya, setiap suatu Keputusan Pejabat Tata Tusaha Negara (KTUN) beradasarkan Hukum administrasi Negara tetap harus dilakukan melalui mekanisme pembatalan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau dilakukan pencabutan oleh pejabat Tata Usaha Negara (PTUN) yang telah mengeluarkan keputusan tersebut.

Berlakunya azas atau prinsip hukum “Presumptio Justia Causa” dalam lapangan Hukum Administrasi Negara (HAN), sambungnya, tersebut guna memberikan kepastian hukum (rechtzekerheids) bagi para aparatur administrasi negara (termasuk para aparatur yang berada di daerah) dalam melaksanakan asas efektifitas dan optimalisasi pelayanan publik.

“Jika tidak berlaku asas tersebut, akan menyebabkan status menjadi Quo (tanpa status hukum) sehingga justru kondisi akan menjadi sangat buruk dimana akan berdampak terhadap terhentinya aktifitas pejabat dalam melaksanakan pelayanan publik disamping juga akan menimbulkan potensi korupsi dalam penggunaan anggaran yang dilaksanakan oleh pejabat SKPA yang baru ditunjuk,” pungkas Kurniawan.

Kurniawan menyarankan agar guna dapat memberi kepastian dan kejelasan hukum seyogyanya para pihak (para mantan Kepala SKPA) yang merasa dirugikan mengajukan gugatan terhadap Keputusan yang dikeluarkan oleh Gubernur Aceh tersebut ke Pengadilan Tata saha Negara (PTUN).

“Terlepas apapun hasil yang nantinya akan diputuskan oleh pengadilan baik Gugatan Sengketa Tata Usaha Negara diterima ataupun ditolak, setidaknya dapat memberikan kejelasan dan ketegasan hukum terhadap keputusan Gubernur tersebut dibandingkan dengan hanya mendengar berbagai argumentasi atau pendapat yuridis dari berbagai para sarjana hukum,” katanya.

Asisten III Setda Aceh, Kamaruddin mengatakan bahwa keputusan Gubernur Aceh dalam melakukan mutasi Pejabat Eselon II di lingkungan Setda Aceh sudah sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh Gubernur Aceh sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tepatya Pasal 119. Hal yang sama juga diungkapkan oleh perwkilan (utusan) Biro Humas Setda Aceh Mulyadi Nurdin.

Pakar Hukum dari Unsyiah, Mawardi Ismail, berpendapat bahwa meskipun Gubernur Aceh berwenang mengangkat dan memberhentikan Kepala Dinas atas usul Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 109 ayat (3), maupun dalam hal pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada Pemeritah Aceh ditetapkan oleh Gubernur sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 119 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, tidaklah bermakna bahwa kewenangan tersebut dilakukan secara mutlak tanpa adanya mekanisme atau prosedur.

Oleh karenanya, mengingat UU Nomor 11 Tahun 2006 tersebut tidak secara khusus mengatur terkait prosedur pengangkatan, dan pemberhentian serta pemindahan dari dan dalam jabatan eselon II atau para Kepala Dinas pada Pemerintah Aceh, maka peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur terkait prosedur dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian Kepala Dinas (baik dalam konteks Pilkada sebagaimana diatur dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota sebagaimana telah ditetapkan menjadi UU dengan UU Nomor 1 Tahun 2015 dan selanjutnya diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 2016, maupun konteks non Pilkada efektif berlaku bagi Aceh sebagai peraturan pelengkap (complementery law).

“Dengan demikian, keputusan Gubernur Aceh yang melakukan mutasi jabatan menjelang berakhir masa jabatan (padahal adanya larangan melakukan mutasi jabatan kepala dinas dalam waktu 6 bulan menjelang berakir masa jabatan) adalah tindakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yaitu UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota,” kata Mawardi. [Aidil/rel]

Related posts