Begini kehidupan Suku Mante menurut Sejarawan Aceh

"Hargai Suku Mante, sebaiknya fokus lindungi habitat hutan mereka"
Orang yang ditemukan di sebuah hutan pedalaman di Aceh yang diduga Suku Mante. (Youtube Fredography)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Perbincangan hangat Suku Mante semakin merambah ke masyarakat, setelah sebuah video yang diunggah di YouTube tersebut menjadi sangat viral karena adanya penampakan manusia bertubuh pendek yang ditemukan para crosser saat menjelajah salah satu hutan di pedalaman Aceh.

Dalam catatan Teuku Abdullah atau lebih dikenal TA Sakti, Akademisi sejarawan Unsyiah menyatakan istilah Mante dikenalkan secara luas oleh Dr Snouck Hurgronje dalam karya terkenalnya De Atjehers.

Ia melukiskan orang Mante atau orang Mantran tinggal di wilayah perbukitan Mukim XXII. Pertengahan abab ke 17 Masehi ditemukan ada sepasang Mante laki-laki dan perempuan ditangkap dan dipersembahkan kepada Sultan Aceh.

“Mereka tak mau berbicara, tak mau makan-minum yang disodorkan, hingga akhirnya mati,” begitu Snouck Hurgronje memberikan ilustrasi. Tetapi lewat buku yang sama ia juga menyatakan, panggilan Mante akhirnya juga diberlakukan untuk menyebut mereka yang bertingkah kebodoh-bodohan dan berlaku kekanak-kanakan.

Kemudian Sejarawan Aceh, Husaini Ibrahim mengatakan Suku Mante tersebut termasuk suku Melayu tua (Proto Melayu) yang diperkirakan sudah ada di Aceh sejak 3.000 sebelum Masehi (SM).

Kemudian baru adanya kedatangan para suku Melayu muda (Deutero Melayu) yang diperkirakan 1.500 Sebelum Masehi (SM). Suku tersebut hadir di daerah Aceh dulunya dengan melintasi Thailand, dan berlabuh di pesisir Aceh Besar.

“Mereka (Suku Mante) memang sudah cukup lama di sini dan sampai sekarang masih ada,” kata Husaini kepada kanalaceh.com saat ditemui di ruang kerjanya, Unsyiah, Banda Aceh, Senin (27/3).

Dalam perkembangannya, lanjut Husaini, Suku Mante dianggap sebagai suku terasing, padahal hampir sama dengan suku-suku lainya di Nusantara, seperti suku Bajong, dan Suku Laut.

“Kalau suku lain hidup di laut sebagai manusia perahu, ini (Mante) hidupnya di gunung-gunung atau di hutan-hutan,” Husaini yang juga Arkeologi Aceh ini.

Husaini menjelaskan pada dasarnya Suku Mante tersebut menghuni di sekitar kawasan Aceh Besar, di perbatasan Jantho, hingga kawasan Tangse Kabupaten Pidie. Bahkan, sambungnya, adanya kaitan dengan orang-orang yang tinggal di pedalaman Aceh Besar yang dikenal dengan istilah Rumoh Duabelah (Rumah Dua Belas).

Namun karena hidup Suku Mante berpindah-pindah (nomaden) maka tidak heran banyak ditemukan di daerah lainnya.

Ketika masa Hindu datang, sambung Husaini, para suku mante tersebut berpindah ke daerah lain, mereka mengungsi ke pedalaman hutan belantara Aceh, bahkan sampai ke daerah Gayo dan Aceh Tamiang.

“Ketika Islam masuk, mereka juga berpindah karena tidak mau di Islamkan,” kata Husaini yang juga dosen di FKIP Sejarah Unysiah ini.

Maka tidak heran menurut Husaini jika saat ini kembali ditemukan Suku Mante tersebut. “Bahkan dulunya juga pernah ada ditemukan di kawasan Aceh Tamiang daerah perdalaman Lokop,” ungkapnya.

Saat ini, kata Husaini, aktivitas Suku Mante tidak diketahui secara luas. Hal ini disebabkan suku tersebut sangat tertutup. Secara fisik, sebut Husaini, para Suku Mante tesebut memiliki bagian fisik yang lebih kecil.

“Paling tinggi satu meter dan rata-rata mereka hanya 60 cm hingga 70 cm, tetapi mereka larinya sangat kuat, “ sebutnya.

Husaini menyebutkan secara spesifik tidak ada perbedaan antara suku Mante dengan manusia lainya di Aceh dalam ciri-cirinya, misalnya warna kulit, seperti kulit orang Melayu bewarna sawo matang.

“Rambutnya lurus tidak ada masalah dengan ciri-ciri yang lain itu, sama dengan manusia biasa yang normal, hanya bentuk tubuh agak kecil, dan bahasa mereka juga memiliki bahasa sendiri,” ujarnya.

Ia pun mengatakan bahwa Suku Mante sudah terbiasa dengan kehidupannya di daerah hutan dan tidak menjadi persoalan berarti bagi suku ini dalam mempertahankan kehidupan sehari-harinya.

“Bagi mereka tidak bermasalah karena sudah terbiasa dengan lingkungan mereka,” demikian Husaini. [Fahzian Aldevan]

Related posts