Tas Ya Liek Phau, potensi ekonomi masyarakat Thailand Selatan

Tas Ya Liek Phau, potensi ekonomi masyarakat Thailand Selatan

Oleh: Nur Fadhillah

PATTANI (Thai ปัตตานี) merupakan salah satu provinsi (changwat) di Thailand Selatan. Provinsi ini bertetangga (dari arah selatan tenggara searah jarum jam) dengan provinsi Narathiwat (menara), Yala (jala) dan Songkla (sengora). Biasanya masyarakat melayu setempat menyebut provinsi-provinsi ini sebagai Patani Darussalam atau Patani Raya. Pada dasarnya Patani ditulis hanya menggunakan satu huruf “t” sedangkan kerajaan Thailand mengubahnya dan menjadi “double t” (Pattani).

Kini tepat dua bulan saya tinggal  di negeri yang dijuluki gajah putih itu, tepatnya di Kampung Hutanyehlor daerah Bacho Provinsi Narathiwat wilayah Thailand Selatan. Kehadiran saya dan delapan teman ke Pattani bukan untuk jalan-jalan semata, melainkan untuk membantu melestarikan bahasa melayu di beberapa provinsi di Thailand selatan. Program ini terwujud berkat kerjasama antara Aceh Civil Society Task Force (ACSTF) yaitu NGO asal Aceh yang berkantor di Neusu, Banda Aceh dengan NGO lokal di Pattani yaitu Bungaraya Grup. Bunga Raya Grup adalah NGO yang fokus pada Isu pendidikan dan intelektualitas Pattani.

Selain membantu mengajarkan bahasa melayu untuk masyarakat Narathiwat khususnya untuk siswa-siswa Tadika (Taman Didikan Kanak-kanak) yang setingkat dengan pendidikan sekolah dasar (S di Indonesia. Tentunya banyak hal lain yang saya amati dan dapatkan, bukan hanya perkembangan bahasa melayu di Pattani, akan tetapi saya juga tertarik mengamati tentang budaya dan perkembangan ekonomi di kalangan masyarakat kampung Hutaeyehlor di Provinsi Narathiwat.

Adapun yang membuat menarik adalah perkembangan ekonominya. Di Hutanyahlor saya bisa menyimpulkan bahwa perkembangan ekonomi masyarakat setempat sangatlah stabil walaupun mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani. Selain menanam padi warga kampung memiliki lahan tanaman karet (penduduk setempat menyebutnya pohan getah). Selain itu masyarakat juga memiliki perkebunan kelapa sawit yang sangat luas. Seperti itulah rutinitas masyarakat Kampung Hutanyehlor.

Saya salut dengan perempuan yang ada di Hutanyehlor, kaum hawa memilih inisiatif untuk ikut serta menopang perekonomian keluarga. Setiap paginya mereka ikut membantu suami menoreh karet. Perempuan di sini memiliki kebiasaan bersantai di teras rumah masing-masing dan ada juga duduk berkelompok (budaya ini terlihat sama dengan masyarakat yang tinggal sudut-sudut gampong di Aceh). Perbedaannya mereka duduk berkumpul tidak untuk menggosip, melainkan menghasilkan uang.

Sambil berduduk santai, mereka membuat kerja membuat Tas Ribu (Thai Ya Liek Phau). Adapun proses pembuatanya sangat ekonomis, bahan pembuatan menggunakan ribu-ribu atau nama saintifiknya lygodium yang tergolong dalam family paku pakis yang tumbuh menjalar di kawasan terbiar, hutan-hutan muda, kebun kelapa atau kebun getah yang tidak diusahakan lagi.

Ribu-ribu jarang sekali dikenali masyarakat umum, kecuali di kalangan pencipta kerajinan tangan, para penyelidik serta pakar perhutanan dan botani. Namun demikian masyarakat Hutanyehlor memanfaatkannya untuk menopang perekonomian mereka dengan cara membuat Tas Ribu.

Adapun cara memproses ribu-ribu tersebut menjadi unik dan berharga. Daun-daun dan bahagian ujungnya (pucuk) dipotong. Ribu-ribu dibelah sedikit dengan pisau kepada dua atau tiga bagian mengikut ukuran. Belahan dimulakan daripada ujung hingga ke pangkal. Seterusnya belahan dibuat hanya dengan menggunakan ibu jari.

Benda tajam seperti pisau adalah tidak sesuai karena akan menyebabkan belahan tidak seimbang, mudah putus dan rusak. Setelah belahan hampir ke ujung atau pangkal, empulur akan ditarik keluar. Ribu-ribu kemudian digantung dan dijemur di tempat yang teduh hingga kering. Ribu-ribu yang terlalu kering akan mengakibatkan kulit ribu-ribu menjadi kecut dan mudah patah bila dianyam. Lalu rotan empulur diraut dengan pisau dan dibasahkan sedikit untuk melembutkannya.

Ribu-ribu disimpulkan sedikit dan seterusnya dijalin pada rotan empulur. Jalinan seterusnya dibuat mengikut lingkaran rotan dengan menggunakan jarum ais. Sementara itu, ribu-ribu yang terlihat tidak rapi dipotong menggunakan pengetip kuku. Jalinan atau ikatan lilitan dibuat dengan kemas dan teliti sehingga tas terlihat rapi dan mempunyai harga yang berkelas.

Tas tersebut akan dikirimkan ke pihak kerajaan. Akan tetapi sebelum dikirim ke kerajaan tas tersebut disortir terlebih dahulu dan dibayar dengan upah berdasarkan kerapian dan keunikan tas tersebut. Upah yang didapat mencapai 3000 – 5000฿ (sekitar 1 juta-1,5 juta rupiah) per tas yang telah dibuat.

Sayangnya, apabila tas yang dikirim tidak sesuai maka akan dikembalikan. Pembuatan tas itu sendiri memakan waktu lebih kurang satu bulan per tas dan upah akan diperoleh dalam durasi waktu lima bulan sekali.

Nur Fadhillah.

*Penulis merupakan staf tata usaha Pesantren Modern Oemar Diyan. Saat ini sedang menjadi guru bantu bahasa melayu di Thailand Selatan.

Related posts