Qanun kehutanan Aceh 2016, bagaimana nasib Leuser?

DPD Dukung Revisi Qanun RTRW Aceh
Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) (Antara Foto)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Pemerintah Aceh bersama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada 10 November 2016 telah menetapkan Qanun Nomor: 7 Tahun 2016 tentang Kehutanan Aceh. Qanun atau Peraturan Daerah tersebut keluar dengan pertimbangan Undang-Undang Nomor: 6 Tahun 2011 tentang Pemerintah Aceh.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Aceh, Saminuddin saat sosialisasi Qanun Kehutanan yang difasilitasi oleh USAID Lestari dan Uni Eropa pada 27 April 2017 mengatakan, Qanun Kehutanan Aceh, sebetulnya merupakan aturan pelaksanaan dari UU Nomor: 11 Tahun 2006 bidang kehutanan.

Pasal 156 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan, Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota di Aceh berwenang mengelola sumber daya alam bidang kehutanan di Aceh. Pada Pasal 165 ayat (3) huruf b dan huruf f juga disebutkan, Pemerintah Aceh berhak memberikan izin konversi kawasan hutan dan izin yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan.

“Pada Pasal 3 Qanun Kehutanan Aceh disebutkan, pengelolaan hutan Aceh bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal dan serbaguna secara lestari dengan menjamin kemantapan luas dan batas kawasan hutan. Juga, mengoptimalkan aneka fungsi hutan, baik fungsi konservasi, fungsi lindung maupun fungsi produksi secara seimbang dan lestari, serta meningkatkan daya dukung DAS untuk kelangsungan pembangunan,” tutur Saminuddin.

Sementara pada Pasal 4 disebutkan, Pemerintah Aceh berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan bidang kehutanan, kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, diantaranya mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.

Saminuddin menambahkan, penggunaan kawasan hutan diluar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk kepentingan pembangunan strategis, untuk publik yang tidak bisa dielakkan. “Diantaranya untuk kepentingan agama dan pendidikan, pertambangan, instalasi pembangkit, transmisi dan distribusi listrik serta energi baru dan terbarukan, pembangunan jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio dan stasiun relay televisi, jalan umum, kalan tol, jalur kereta api dan pelabuhan,” tuturnya.

Koordinator USAID Lestari Provinsi Aceh, Ivan Krisna mengatakan, dirinya berharap pengelolaan hutan di Provinsi Aceh sesuai dengan UUPA dan Qanun Kehutanan, juga melibatkan kabupaten/kota.

“Kami akan membantu sosialisasi Qanun Kehutanan Provinsi Aceh ini hingga tingkat kabupaten/kota juga memberi masukan hingga melahirkan mekanisme pengelolaan kehutanan berdasarkan Qanun Kehutanan,” ujarnya.

Ivan Krisna mengatakan, USAID Lestari bekerja untuk mendukung pemerintah provinsi dan kabupaten/kota agar dapat bersinergi dalam mengelola dan menjaga kelestarian hutan secara adil. “Qanun ini nantinya dapat memberikan keadilan baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dalam pengelolaan kehutanan.”

Perbaikan

Juru Bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) Efendi Isma mengatakan Qanun Provinsi Aceh tentang kehutanan masih banyak terdapat kekurangan dan pertentangan dengan aturan lainnya. KPHA melalui hasil kajian tim eksaminasi telah memberikan masukan terhadap peraturan daerah Aceh tersebut saat berbentuk draf.

“Tapi masukan yang kita berikan berdasarkan kajian Tim Eksaminasi KPHA yaitu, Bakti Sihaan, Basri Effendi, Hasnanda Syahputra, Juli Ermiansyah Putra, Kurniawan, Mawardi Ismail, Mustiqal Syah Putra, dan Zakiah, tidak mendapat perhatian dari Pemerintah Aceh. Khususnya, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” ujarnya.

Efendi mencontohkan hasil kajian tim eksaminasi, berdasarkan sistematika Rancangan Qanun Kehutanan, materi muatan yang diatur itu lebih banyak mengatur hal-hal di luar atau selain terkait izin koversi hutan. Juga, izin yang berkaitan pengelolaan dan pengusahaan hutan.

“Padahal keberadaan Rancangan Qanun Aceh merupakan peraturan pelaksanaan atau peraturan organik (delegated legislation) dalam rangka menindaklanjuti Pasal 165 ayat (3) jo Pasal 165 ayat (5) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.”

Dia menambahkan, dalam Qanun tersebut, perizinan kehutanan hanya diatur secara singkat, yaitu Pasal 55 sampai dengan Pasal 69. “Sementara, dalam Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2002 tentang pemberian izin kehutanan mengatur hal tersebut lebih lengkap.”

Efendi juga mengatakan, dalam Qanun tersebut, pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) hanya diserahkan kepada UPTD Dinas Kehutanan. Hal ini menunjukan Pemerintah Aceh tidak serius dan tidak peduli terhadap hutan yang luasnya mencapai 2,5 juta hektar itu.

“Padahal UUPA telah memberikan perhatian cukup besar terhadap KEL sebagaimana diatur dalam pasal 150 UUPA. Demikian juga PP No 26 tahun 2008 tentang RTRWN menetapkan KEL sebagai Kawasan Strategis Nasional. Pasal 150 UUPA tegas menyebutkan bahwa pengelolaan KEL ditugaskan kepada pemerintah Aceh dengan anggaran dan fasilitas yang disediakan oleh pemerintah.”

Masalah lainnya, Qanun Kehutanan ini membatasi peran serta masyarakat pada level pegawasan hutan. Sementara pada level perencanaan dan pemanfaatan kehutanan tidak dilibatkan.

“Kita telah meminta, sebaiknya masyarakat diberikan peran serta dilibatkan pada seluruh tahapan kehutanan mulai dari perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan. Tapi, tidak dianggap penting oleh pemerintah di Aceh,” tandasnya. [Mongabay]

Related posts