Dibalik tingginya angka depresi generasi milenial adalah sosial media

Ilustrasi. (bramardianto.com)

(KANALACEH.COM) – Generasi milenial kebanyakan doyan curhat di media sosial. Rutinitas sehari-hari menjadi salah satu topik yang tidak pernah ketinggalan untuk dicuitkan. Termasuk di dalamnya tentang masalah perasaan.

Karakteristik media sosial pun menentukan curhatan yang diresahkan. Misalnya Facebook, Anda pasti banyak menemukan curhatan panjang disertai foto mengenai masalah yang diceritakan netizen. Tak jarang, sesuatu yang unik tersebut malah jadi buah bibir pengguna media sosial lainnya.

Berbeda dengan Facebook, pengguna Instagram punya kesamaan cara menunjukan kegelisahan hatinya. Kebanyakan dari pengguna Instagram itu curhat mengandalkan caption foto yang menggugah perhatian. Tak ketinggalan, fotonya pun biasanya dibuat hitam-putih, pada mereka yang sedang galau.

Kondisi tersebut membuat periset dari University of Vermont Chris Danforth tergerak untuk melihat fenomena depresi di media sosial. Salah satu instrumen penelitiannya adalah Foto yang dipajang di media sosial. “Saat Anda sedang galau, foto Anda juga menjadi lebih sendu. Yang mana, biasanya foto ditampilkan dalam warna abu-abu atau gelap. Selain warna, foto yang diposting biasanya hanya menampilkan sedikit wajah,” terangnya dikutip Okezone.com, Rabu (9/8).

Dengan kata lain, peneliti melihat adanya tingkat depresi yang disalurkan netizen di media sosial dan penampakannya terlihat dari apa yang mereka bagikan di dunia maya. Chris melanjutkan, fenomena tersebut menunjukan bahwa, orang bisa memberi tanda kesedihan mereka dengan tidak hanya melalui bahasa tubuh dan tingkah laku, depresi terungkap dari gambar yang ada media sosial.

Bersama dengan Andrew Reece dari Universitas Harvard, Chris akhirnya melakukan penelitian pengujian tingkat depresi melalui sistem penilaian komputer. Yang mana, penelitian itu menerapkan sistem penilaian dengan mesin yang diketahui berhasil mendeteksi orang-orang yang depresi dari petunjuk di foto Instagram mereka.

Hasil penelitiannya menyebutkan tingkat deteksi depresi dengan sistem komputer kedekatan dengan petunjuk depresi seseorang sebesar 70% lebih dapat diandalkan daripada tingkat keberhasilan 42% dokter praktik umum yang mendiagnosis depresi secara langsung.

“Ini menunjuk pada metode baru untuk skrining dini tentang depresi dan penyakit mental lainnya,” kata Chris. Dia melanjutkan, algoritma ini terkadang bisa mendeteksi depresi sebelum diagnosis klinis dibuat.

Hasil tim peneliti ini telah dipublikasi pada 8 Agustus 2017 di jurnal ilmu data terkemuka EPJ Data Science. []

Related posts