Hutan konservasi direzonasi berpotensi rusak ekologi dan ganggu satwa

Hutan konservasi direzonasi berpotensi rusak ekologi dan ganggu satwa
Ilustrasi lahan. (Dok HAKA)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Hutan konservasi seluas 30 hektare di kaki Gunung Leuser, Aceh Tenggara direzonasi menjadi zona tradisional berpotensi akan merusak ekologi dan menganggu satwa di Kawasan Ekosistem Leuseur (KEL).

Hal itu disampaikan oleh Aktivis Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), Shaivannur menanggapi pemberitaan di Serambi Indonesia yang tayang pada Minggu (17/9) berjudul Hutan Konservasi Jadi Pemukiman.

Pasalnya, sambung Shaivannur, kawasan tersebut masih menjadi tempat terakhir satwa yang hampir punah saat ini.

Dia menganggap keputusan rezonasi hutan akan mengganggu habitat yang masih sisa. Kemudian berpotensi akan merusak ekosistem.

“Ini perlu kehati-hatian, sebab jika hutan sudah rusak, di hilir akan menjadi korban bencana seperti banjir bandang,” katanya dalam siaran persnya kepada Kanalaceh.com, Selasa (19/9).

Sementara aktivis lingkungan dan advokat, Nurul Ikhsan mengatakan, pernyataan dari Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen LHK) Ir Wiratno adalah pernyataan yang masih mengantung.

“Menurut Wiratno, Kemen LHK baru mau akan melihat apakah kawasan tersebut bisa dikelola oleh masyarakat atau tidak. Sayangnya peryataan semacam itu telah ditafsirkan beragam oleh masyarakat. Ini sangat berbahaya bila tidak diberi penjelasan secara lengkap karena jika tidak akan menjadi jebakan untuk masyarakat itu sendiri,” kata Nurul.

Dalam pengelolaan kawasan semacam itu, kata dia, masih terikat dengan UU No 18/2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) dan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. “Ini harus dijelaskan dan dipatuhi oleh kita semua,” tegasnya.

Lanjut Nurul, pada bulan Desember 2015 Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materil UU No. 18 Tahun 2013tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) dan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang diajukan sejumlah petani dan organisasi lingkungan. Namun, dari puluhan pasal yang diuji, MK hanya mengabulkan permohonan Pasal 50 ayat (3) huruf e dan huruf i UU Kehutanan.

Pasal 50 ayat (3) huruf e UU Kehutanan menyebutkan, “Setiap orang dilarang:… e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang.” Pasal 50 ayat (3) huruf i UU Kehutanan menyebutkan, “Setiap orang dilarang:… i. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang”.

Menurut MK, larangan pada Pasal 50 ayat (3) huruf e UU Kehutanan tidak termasuk masyarakat yang hidup secara turun temurun dalam hutan yang membutuhkan sandang, pangan, dan papan untuk kebutuhan sehari-hari dengan menebang pohon serta bukan untuk tujuan komersial, sehingga tidak dapat dijatuhkan sanksi pidana terhadapnya.

Dari putusan MK tersebut, sambung Nurul, tersurat dengan jelas bahwa yang yang berhak dan atau mendapat pengkecualian adalah masyarakat yang hidup secara turun temurun dalam hutan.

“Tidak termasuk didalam putusan MK ini masyarakat yang bertempat tinggal diluar dan atau disekitar kawasan, apalagi jika pengelolaannya untuk kepentingan komersial,” imbuh Ikhsan. [Aidil/rel]

Related posts