Pemerintah Aceh pelajari Forest Watcher untuk deteksi kerusakan hutan

Pemerintah Aceh pelajari Forest Watcher untuk deteksi kerusakan hutan
Peserta mempelajari Global Forest Watch (GFW) dan Forest Watcher di sekitar Hutan Saree, Aceh Besar. (Ist)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Yayayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA) bersama WRI (World Resource Institute) Indonesia mengadakan pelatihan Global Forest Watch (GFW) dan Forest Watcher untuk Pemerintahan Aceh di Bidang Kehutanan di Hotel Oasis, Banda Aceh pada 28 Februari hingga 2 Maret 2018.

Peserta pelatihan berasal dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh beserta KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) I dan KPH Tahura, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL), Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), Balai Penegakan Hukum (GakKum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan UPTB Pusat Data Geospasial Aceh (PDGA) BAPPEDA.

“Pelatihan ini rangkaian dari pelatihan serupa yang telah diselenggarakan di Langsa bulan lalu,” tutur Hidayah Hamzah dari WRI Indonesia.

Asti Asokawati juga mengatakan, GFW dan fitur-fiturnya dapat dimanfaatkan untuk membantu upaya penegakan hukum di sektor kehutanan.

Agung Dwinurcahya dari HAkA menyatakan, pentingnya pelatihan ini karena hutan Aceh yang luas ini dapat dipantau dengan GFW dan Forest Watcher lebih cepat.

GFW dan Forest Watcher sendiri merupakan suatu aplikasi berbasis web dan seluler yang memungkinkan pengguna untuk mengetahui hilangnya tutupan pohon secepatnya (update setiap 8 hari) dengan sistem NRT (Near-Real Time).

Terdapat dua data penting yaitu data peringatan GLAD (Global Land Analysis and Discovery) untuk mengetahui peringatan terjadinya kehilangan tutupan pohon dan data VIIRS (Visible Infrared Imaging Radiometer Suite) yang memungkinkan pengguna mendeteksi titik-titik panas (hotspot) untuk menduga kebakaran lahan.

Akurasi GLAD adalah 30 x 30 meter dan sensitivitas VIIRS mendeteksi titik panas yaitu 375 x 375 meter.

“Beberapa institusi telah memanfaatkan aplikasi ini untuk membantu kegiatan patroli kawasan hutan,” kata Umi Purnamasari.

Sementara dari BKSDA Aceh, Fahrul mengatakan, pihaknya telah menggunakan GFW dalam memantau kejadian titik panas dan kehilangan pohon di area kerja BKSDA mulai tahun ini.

Pelatihan ini juga dihadiri oleh perwakilan dari tim WRI Global – Elizabeth Moses dan Liz Bourgault. Selain materi dan demo di dalam ruangan, para peserta pelatihan juga diajak mempraktekkan langsung aplikasi smartphone Forest Watcher tersebut di sekitar Hutan Saree, Aceh Besar.

Aplikasi tersebut dapat digunakan untuk navigasi menuju ke titik-titik area yang diduga terjadi kerusakan hutan. Para peserta telah membuktikan di lapangan bahwa memang dijumpai dan ditemukan pembukaan lahan di lokasi peringatan GLAD tersebut.

Dedek Hadi dari DLHK Aceh menyambut antusias kehadiran teknologi GFW dan Forest Watcher tersebut. “Jika memungkinkan maka kita perlu mengembangankan hal ini menjadi sebuah sistem pelaporan kejadian deforestasi dan kebakaran di Aceh yang terintegrasi di semua lini,” tuturnya.

Senada dengan hal tersebut Rahmad dari KPH Tahura menegaskan dengan teknologi ini diharapkan dapat membuat database monitoring kerusakan hutan yang dapat terkoneksi langsung dengan pengambil kebijkan.

Jefri dari Balai GakKum KLHK juga menambahkan bahwa, teknologi ini akan membantu menyaring informasi-informasi yang benar tentang kerusakan hutan dan titik api.

“Teknologi ini dapat membantu meminimalisir informasi tidak benar (hoax) dan membantu dalam membuat prioritas,” ujar Jefri. [Aidil/rel]

Related posts