GeRAK Tagih Komitmen Penegak Hukum di Aceh Tuntaskan Perkara Korupsi

(ist)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh mendesak aparat penegak hukum di Aceh baik Kepolisian Daerah (Polda) maupun Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh untuk segera menuntaskan seluruh perkara korupsi yang sedang ditangani.

Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani pada moment peringatan hari Antikorupsi Internasional (HAKI) 2019 ini menagih komitmen aparat penegak hukum untuk menuntaskan perkara korupsi yang sudah dilakukan penyelidikan maupun penyidikan.

Askhalani menyebutkan ada berbagai kasus yang menjadi perkerjaan rumah bagi penegak hukum di Aceh untuk segera dituntaskan, seperti kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh tahun anggaran 2017, melalui mekanisme Penunjukan Langsung (PL).

“Kasus ini telah kita laporkan dan diterima langsung oleh Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dir Reskrimsus) Polda Aceh, Kombes Pol Erwin Zadma S.IK, bulan April lalu,” kata Askhalani.

Kasus itu, kata Askhalani, terjadi perubahan Dokumen Rencana Kerja Perubahan Anggaran (RKPA) tahun anggaran 2017, dari total pagu setelah perubahan nilainya mencapai Rp 157 miliar lebih dari total pagu anggaran sebelum perubahan sebesar Rp 137 miliar. Artinya terdapat peningkatan anggaran sebesar Rp 19,6 miliar (14,30 persen).

Setelah itu, kasus penyaluran beasiswa bantuan pendidikan Pemerintah Aceh tahun 2017 yang sarat masalah dan terindikasi korupsi.

Hasil temuan Inspektorat Aceh menyebutkan mahasiswa yang menerima beasiswa tersebut berasal dari usulan 24 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan ada yang mengajukan permohonan secara mandiri.

“Jumlah yang diusulkan dewan dan permohonan mandiri mencapi 938 orang, terdiri 852 usulan dewan, dan 86 secara mandiri. Kasus ini ditangani Polda Aceh,” sebut Askhalani.

Sementara itu, pekerjaan rumah Kejati Aceh yaitu kasus dugaan penyelewengan dana hibah Pemerintah Aceh untuk mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) senilai Rp 650 miliar, perkara ini ditangani Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh.

Dalam kasus ini, sebanyak 11 Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) diduga menerima aliran dana tersebut, masing-masing Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan, Dinas Sosial, Dinas Pendapatan dan Kekayaan Aceh, Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kesbangpol Linmas, Dinas Pengairan, Satpol PP dan WH dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.

Kedua, lanjut Askhalani, kasus pengerjaan proyek Keramba Jaring Apung (KJA) dengan kontrak Rp 45 milliar yang dari bersumber APBN tahun anggaran 2017, dimana terdapat indikasi melanggar hukum pada pekerjaan pengadaan percontohan budidaya ikan lepas pantai (KJA Offshore) yang dimenangkan oleh PT Perikanan Nusantara (Perinus).

Dalam kasus korupsi KJA ini, penyidik Kejati Aceh telah memeriksa 19 saksi, satu diantaranya Direktur Jenderal (Dirjen) Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI, Dr Ir Slamet Soebjakto.

“Penyidik juga telah menyita uang tunai Rp 36,2 miliar dari kasus dugaan korupsi pengadaan proyek KJA di kota Sabang serta barang bukti satu unit kapal Pakan Ternak, 8 unit keramba dan jaring, peralatan camera serta aset lainnya,” ujarnya.

Kemudian, kasus dugaan penggelapan aset pendopo Wali Kota Subulussalam periode 2014-2019 yang disinyalir telah merugikan negara sebesar Rp 1,5 miliar lebih.

Berdasarkan hasil pemeriksaan dan temuan inspektorat Subulussalam, ditemukan sedikitnya 17 item aset daerah yang dinyatakan hilang atau sekitar 264 bahan yang tidak diketahui keberadaanya serta tidak dapat dipertangungjawabkan.

Dari 354 aset yang tersisa, hanya 90 bahan yang masih terlihat, dan 264 aset dinyatakan hilang, karena itu disimpulkan adanya kerugian negara sebesar Rp1,57 miliar.

“Kasus dugaan penggelapan aset ini sudah kita laporkan langsung dan diterima Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Aceh beberapa bulan lalu, tapi belum ada perkembangan,” tuturnya.

Askhalani juga mempertanyakan perihal kasus dugaan korupsi alat kesehatan CT Scan di Rumah Sakit Zainal Abidin (RSUZA) yang bersumber dari Anggaram Pendapatan dan Belanja Aceh (ABPA) tahun 2008 senilai Rp 39 milliar.

Dimana, seperti yang telah diketahui publik, Kejati Aceh telah mengusulkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) ke Kejaksaan Agung terhadap kasus ini.

Padahal, beberapa tersangka telah ditetapkan yaitu mantan Direktur RSUDZA Banda Aceh berinisial TM, bersamaan dengan penetapan TBE pada 1 Juli 2014.

Lalu, Kejati Aceh juga telah menetapkan tiga tersangka lain yakni Ketua Pokja SU, dan sekretaris Pokja Mhr dan BI, Kuasa Direktur CV Mutiara Indah Permai.

“Dalam kasus ini negara mengalami kerugian senilai Rp15,3 milliar. Tapi tiba-tiba diusulkan SP3, kita mempertanyakan ini,” tandas Askhalani.

Selain itu, GeRAK Aceh juga meminta Polda Aceh dan Kejati untuk melakukan penanganan supervisi terintegrasi penindakan terhadap penagangan perkara yang ditangani oleh Polres dan Kejari kabupaten/kota Se Aceh.

Seperti, kasus ijazah palsu di Aceh Tamiang, pengadaan mobiler di Dinas Pendidikan tahun anggaran 2017 di Aceh Jaya, kasus dugaan korupsi pengelolaan hasil produktif UPTD Balai Ternak Non Ruminansia (BTNR) dinas peternakan Aceh, di Aceh Besar tahun 2016-2018 sebesar Rp13 miliar, serta berbagai kasus lainnya.

“Kita minta Polda dan Kejati Aceh juga harus melakukan supervisi terhadap kasus-kasus di daerah tersebut,” pinta Askhalani.

Dalam kesempatan ini, Askhalani juga menuturkan bahwa pihaknya tatap mendukung aparat penegak hukum bekerja secara profesional dalam menyelesaikan perkara yang sudah ditangani.

Apalagi, Askhalani mengaku sangat prihatin dengan angka korupsi yang terus meningkat di Indonesia. Ditambah lagi melemahnya kerja-kerja KPK. Belum lagi kasus penyidik senior Novel Baswedan yang belum terungkap sampai hari ini.

Seiring melemahnya kerja-kerja KPK yang dibonsai dengan penuh konstalasi, mulai dari pengesahan UU 19 Tahun 2019, Presiden yang sampai saat ini belum mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK. Maka publik menaruh harapan kepada penegak hukum di daerah. [Fahzian/rel]

Related posts