Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Kota Subulussalam memiliki adat dan budaya yang masih dilestarikan hingga kini. Salah satunya yaitu tradisi Mangan Mekhadat atau kenduri adat yang dimana pesertanya mulai tingkat pemangku adat, raja hingga masyarakat.
Tradisi itu ditampilkan oleh panitia anjungan Subulussalam sebagai bentuk penghormatan atau pelestarian adat dan budaya yang masih terjaga hingga kini.
Hal itu juga bertujuan untuk menggali nilai-nilai luhur dari kearifan lokal masyarakat Subulussalam bersuku Singkil itu sendiri.
Sama halnya dengan kenduri secara umum di Aceh, Mangan Mekhadat memiliki warna penutup talam yang menunjukkan status sosial dalam pelaksanaan tradisi tersebut. Seperti kuning-putih, merah, hijau dan hitam.
Warna-warna itu juga terbalut dalam tiang-tiang penyangga anjungan Subulussalam hingga pernak-pernik dan symbol kesenian yang ditampilkan dalam anjungan tersebut.
Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Subulussalam Habibuddin mengatakan, tradisi Mangan Mekhadat sudah ada jauh sebelum zaman Belanda masuk ke Indonesia. Ia tidak mengetahui secara persis kapan tradisi itu mulai dilakukan.
Namun, dari literasi yang dia peroleh, tradisi itu sudah ada sejak Kerajaan Sinembelas, lalu kerajaan itu runtuh dan terbagi menjadi dua bagian. Ia meyakini, tradisi tersebut juga sudah ada sebelum masa Kerajaan Sultan Iskandar Muda.
“Sudah lama tradisi ini. Jauh sebelum Belanda datang sudah ada,” kata Habibuddin.
Kekinian, tradisi Mangan Makhadat hanya dilakukan pada dua momen tertentu. Seperti pesta perkawinan secara adat dan sunat rasul secara adat. Jika kedua acara tersebut tidak menggunakan tradisi adat Subulussalam, kata dia tradisi itu tidak akan dilakukan.
“Momennya ada dua. Pertama waktu pesta perkawinan secara adat dan pesta sunat rasul secara adat. Itu baru keluar makanan adat. Jika tidak beradat, makanan itu tidak keluar,” ucapnya.
Filosofi Warna Talam
Ada beberapa warna talam yang digunakan dalam tradisi Mangan Makhadat. Pertama tutup talam berwarna kuning yang ditujukan kepada pemangku adat yang memegang kedudukan tertinggi dalam satu wilayah atau raja pada zaman dulu. Isi dalam talamnya yaitu kepala kambing.
Kemudian berwarna putih yang diperuntukkan bagi alim ulama. Mereka adalah orang yang amanah dan jujur, sehingga putih itu diidentikkan dengan manusia yang tidak pernah berbohong. Isi talamnya berisi leher kambing.
“Putih itu ibarat orang yang selalu jujur kepada raja, alim ulama yang tentunya bersikap amanah,” ucapnya.
Kemudian warna merah yang menandakan sebagai panglima. Mereka menjaga dan memelihara daerah tersebut, sekaligus pengawal raja.
Lalu talam berwarna hijau yang diberikan kepada tokoh yang ditokohkan. Mereka ini seperti konglomerat yang mempunyai sifat berwibawa. Salah satu contohnya pengusaha kaya raya yang dermawan, dan mantan pejabat untuk wilayah-wilayah tertentu. Isi talamnya diisi paha kambing.
Kemudian talam berwarna hitam, yang ditujukan kepada penjaga yang berada di samping pintu, seperti Ahli Nujum atau paranormal. Mereka ini pada zaman dulu seperti orang yang pertama kali mengetahui jejak musuh yang akan menyerang. Sehingga mereka selalu ditempatkan di samping pintu.
Selain hidangan tersebut, ada juga makanan penghias dari menu utama yang disajikan dalam tradisi Mangan Makhadat. Habibuddin menyebut, setidaknya ada 11 kuliner tradisional yang selalu berdampingan dengan talam-talam tersebut.
“Tentunya ini kuliner Subulussalam khas suku Singkil juga. Ada 11, seperti Ndelabakh Manuk, Sambal Tuktuk dan banyak lainnya, ada 11. Makanan itu tidak di hidang dalam talam, namun ada wadahnya tersendiri,” katanya.