Cerita Wali Nanggroe Soal Pengangkatan Teungku Lah Jadi Panglima GAM Banda Aceh

Wali Nanggroe Aceh, Tgk Malik Mahmud. (ist)

(KANALACEH.COM) – Sebagai salah satu sosok yang dekat dengan Teungku Hasan di Tiro, Teungku Malik Mahmud memainkan peran penting dalam merancang strategi Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Di balik layar, Teungku Malik diberitugas untuk memastikan bahwa strategi-strategi tersebut dijalankan dengan baik oleh para panglima yang tersebar di berbagai wilayah di seluruh Aceh. Tugas ini menjadi semakin krusial setelah Keuchik Umar, Panglima GAM, gugur dalam pertempuran di tahun 1992.

Peristiwa tersebut kemudian membuka babak baru dalam perlawanan GAM, dengan kebutuhan mendesak untuk mencari sosok yang bisa menggantikan posisi Keuchik Umar sebagai panglima. Setelah berdiskusi dengan para panglima lapangan, Malik Mahmud akhirnya menemukan sosok yang dianggap tepat, yaitu Abdullah Syafi’i, atau yang lebih dikenal sebagai Teungku Lah. Keputusan ini tidak diambil dengan mudah.

Teungku Lah memiliki latar belakang yang berbeda dari banyak perwira GAM lainnya. Ia tidak menempuh pendidikan di Akademi Militer Tajura, Libya—tempat dimana banyak pejuang GAM ditempa keterampilan militernya.

Sebaliknya, Teungku Lah mendapatkan pengalaman tempurnya langsung di Aceh, melalui pertempuran langsung dan situasi yang menuntut ketangguhan fisik serta mental. Meski tidak memiliki latar belakang militer formal seperti alumni Libya, Teungku Lah berhasil membuktikan bahwa dirinya sebagai pemimpin yang tangguh dan mumpuni.

Kemampuannya untuk memimpin operasi di bawah tekanan dengan sumber daya seadanya—membuatnya dihormati oleh para pejuang di lapangan. Atas kredibilitasnya itu kemudian Malik Mahmud mengajukan nama Teungku Lah kepada Teungku Hasan di Tiro sebagai calon panglima baru. Pengajuan ini diterima, dan surat resmi pengangkatan dikeluarkan, dengan masa jabatan yang berlaku selama satu tahun.

Namun, ketika masa jabatan satu tahun itu berakhir, Teungku Lah mulai merasa resah. Surat perpanjangan tak kunjung tiba, dan ketidakpastian ini membuatnya kemudian menghubungi Malik Mahmud untuk meminta kejelasan.

Teungku Malik kemudian memberikan saran yang sederhana tetapi tegas: teruskan kepemimpinan tanpa harus menunggu surat formal. Persetujuan lisan dari Teungku Hasan di Tiro pun sudah diberikan, dan menurut Teungku Malik, itulah hal yang paling penting, bukan semata administrasi dalam bentuk selembar surat.

Kisah Teungku Lah ini menjadi bukti bahwa di dalam tubuh GAM saat itu, pengalaman di lapangan bisa menjadi penentu lebih dari sekadar pelatihan formal.

Keberanian dan ketangguhan Teungku Lah dalam memimpin operasi militer membuatnya menjadi salah satu tokoh yang paling dihormati dalam organisasi tersebut. Meskipun tidak pernah menerima pendidikan militer di luar negeri, Teungku Lah menunjukkan bahwa pengalamannya di medan tempur cukup untuk mengimbangi perwira-perwira GAM yang telah dilatih di Libya.

Teungku Malik tidak pernah bertemu langsung dengan Teungku Lah, hingga ia gugur dalam sebuah pertempuran pada Januari 2002.

Kematian Teungku Lah kemudian meninggalkan kekosongan lagi di pucuk pimpinan GAM di lapangan, tetapi seperti halnya institusi militer lainnya, estafet kepemimpinan segera dapat dilangsungkan dan berpindah kepada Muzakir Manaf, atau yang akrab disapa Mualem, yang saat itu menjabat sebagai wakil Teungku Lah.

Berbeda dengan Teungku Lah, Mualem adalah lulusan Akademi Militer Tajura di Libya. Teungku Malik tentunya mengenal baik sosok ini, terutama melalui interaksi mereka selama proses pelatihan militer di Libya di akhir 1980-an.

Namun, walaupun Teungku Lah telah gugur, namun semangat yang ditinggalkan oleh Teungku Lah tetap menjadi inspirasi bagi banyak pejuang GAM saat itu, sebuah semangat yang tak lekang oleh waktu, meskipun medan tempur terus bergeser dan bergerak jauh.

Related posts