Syiar Islam di Asia Tenggara Abad 13 M

Nisan bersurat milik seorang yang disifatkan sebagai As-Sa’id Asy-Syahid Mahbub Qulub AlKhala’iq (yang berbahagia lagi syahid, dicintai oleh hati banyak orang) di Leubok Tuwe, Aceh Utara. (Foto: CISAH)

Menyiarkan dan menyebarkan Islam adalah tugas yang diperintahkan Allah kepada Nabi-Nya (Al-Qur’an: Saba’: 28), dan Allah menyatakan akan memenangkan agama-Nya (At-Taubah: 33). Allah juga telah berjanji: (An-Nur: 55; Al-Anbiya’: 105; Al-Qashash: 5)

Da’wah yang Menerangi Dunia

Penyebaran Islam adalah fenomena sejarah menakjubkan. Banyak para ahli sejarah, baik di kalangan Muslim maupun Non­Muslim (Barat) yang telah membincangkan fenomena ini. Banyak faktor telah mendukung sampainya Islam di pesisir utara Sumatera lalu penyebarannya ke berbagai pelosok di kawasan Asia Tenggara. Namun di antara berbagai faktor terpenting ialah karena “jati diri” Islam itu sendiri sebagai agama yang diperuntukkan untuk seluruh umat manusia (universal).

“Al-Quran ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam, dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Al-Quran setelah beberapa waktu lagi.” (Shad: 87-88)

“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (Saba’: 28)

“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.” (At-Taubah: 33)

Kesadaran akan hal itulah yang telah menumbuhkan berbagai usaha orang-orang Muslim untuk menyebarkan agama Allah di muka bumi. Da’wah atau menyeru kepada Islam merupakan suatu kewajiban, individu maupun lembaga. Islam juga mensyari’atkan jihad sebagai cara untuk membukakan jalan bagi Islam sampai kepada berbagai kelompok manusia di mana saja mereka bertempat tinggal di dunia. Jihad fi sabilillah tidak serta merta berarti menggunakan kekerasan untuk memaksakan orang lain memeluk Islam. Jihad selain ditujukan untuk mempertahankan wilayah Islam, juga untuk menyediakan kondisi yang memungkinkan da’wah Islam berkembang dan setiap orang dapat memilih dengan bebas memeluk Islam. Sementara untuk meyakinkan orang lain memilih Islam dengan penuh kerelaan, Islam menyelenggarakan da’wah dengan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan, nasehat yang baik, serta dialog dengan metode yang terbaik.

Penyebaran Islam di manapun tempat di dunia ini tidak pernah lepas dari ajaran Islam itu sendiri yang telah membangkitkan semangat untuk menyampaikannya kepada seluruh manusia. Islam bukan untuk suatu kelompok atau etnis, tapi Islam adalah adalah agama untuk membawa kebaikan kepada seluruh manusia. Da’wah adalah tugas individu dan kelompok Muslim dalam status apapun. Inilah yang menjadi faktor paling penting dalam sampai dan menyebarnya Islam di pesisir utara Sumatera kemudian ke berbagai wilayah yang luas di Asia Tenggara.

Dari itu, penyebaran Islam bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan, sambil lalu, ataupun dikarenakan suatu kepentingan di luarnya semacam perdagangan dan lainnya, namun memang sesuatu yang dimaksudkan serta dilakukan secara serius oleh setiap Muslim baik pribadi maupun kelompok.

Islam yang Tersebar lewat Da’wah dan Jihad

Masa-masa sebelum Abad ke-7 H/ke-13 M

Sebagian ahli sejarah menyebutkan bahwa jalur perdagangan ke Asia Tenggara telah ada sebelum masa kedatangan Islam. Beberapa komuditi dengan kualitas terbagus yang berasal dari kepulauan India (Asia Tenggara) telah dikenal dan dipasarkan oleh orang-orang Arab. Al-Qur’an menyebutkan beberapa komuditi asal India dengan nama India yang telah di-arab-kan seperti zanjabil (jahe) dan kafur (kamper).

Abad ke-1 Hijriah, Islam menjangkau seluruh semenanjung Arab dan Persia meliputi masyarakat pelaut yang hebat di sekitar teluk Persia (teluk Arab). Para pedagang di sekitar teluk Persia diyakini sebagai orang yang mula-mula menyebarkan Islam sampai kawasan barat daya India (Malabar).

Memang tidak mustahil, dalam abad ke-1 H/ke-7 M, para pedagang Muslim telah sampai ke daerah-daerah kepulauan di Asia Tenggara (Jaza’ir Al-Hind). Namun sejauh ini belum ditemukan data-data sejarah yang lebih dapat menguatkan hal tersebut.

Abad ke-2 H/ ke-9 M adalah abad di mana orang-orang Muslim dapat dipastikan telah berada di kepulauan Asia Tenggara. Sulaiman As-Sirafiy atau yang terkenal dengan Saudagar Sulaiman (Sulaiman At-Tajir) yang lahir di Siraf, sebuah wilayah di teluk Arab, pada 851 M mencatat laporan perjalanan ke India dan Cina dalam satu manuskrip diberi tajuk Hawadits Tarikhiyyah Mutatabi’ah. Dalam manuskrip yang disalin kembali oleh seorang ahli geografi sedaerahnya, Abu Zaid As-Sirafiy ini, ia mencatat peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan perdagangan antara Timur Tengah dan Cina. Tulisan itu juga menerangkan bahwa Teluk Arab pada waktu itu disebut dengan Teluk Cina disebabkan banyaknya kapal-kapal Cina yang lalu-lalang dan hal itu sudah merupakan pemandangan yang biasa. Kapal itu biasanya sampai ke Siraf, membongkar muatannya ke kapal-kapal kecil yang kemudian mengangkut barang-barang tersebut ke Bashrah serta negeri-negeri lainnya di Teluk. Dalam perjalanan pulang ke Cina, kapal-kapal itu singgah di pantai Oman sebelum melayari samudera India ke Cailon sampai akhirnya tiba di Canton yang merupakan pelabuhan terbesar untuk perdagangan dengan wilayah-wilayah di barat dunia.

Masa-masa pra-abad ke-7 H/ke-13 M jelas telah membuka jalan bagi perkembangan Islam yang muncul pada abad kemudian terutama pada awal abad ke-7 H/ke-13 M.

Masa-masa Abad ke-7 H/ke-13 M dan Setelahnya

Untuk sebelum masa Al-Malik Ash-Shalih memerintah, ditemukan tiga batu nisan makam bertarikh wafat pada abad ke-7 H/ ke-13 M. Pertama, batu nisan makam seorang bernama Ibnu Mahmud yang bertarikh wafat 622 H di Gampong Leubok Tuwe, Meurah Mulia, Aceh Utara; kedua, batu nisan tidak menyebutkan nama tapi hanya menyebutkan sifat-sifat pemilik makam, yang juga bertarikh wafat pada tahun yang sama 626 H. Kemudian, satu makam lagi milik seorang yang disebut dengan Ibnu Khaddajih, wafat pada 676 H di Gampong Matang Ulim, Samudera, Aceh Utara. Dari tinggalan-tinggalan sejarah tersebut diyakini bahwa kekuatan politik Islam mulai terbentuk di kawasan pantai utara Sumatera paling tidak sejak awal abad ke-7 H/ke-13 M.

Kemudian, dari masa penghujung abad ke-7 H/ ke-13 diperoleh data sejarah teramat penting dari batu nisan makam Sultan Al-Malik Ash-Shalih yang menggambarkan suatu perkembangan baru bagi Islam di Asia Tenggara. Bila epitaf nisan-nisan sebelumnya tidak menyebutkan gelar sultan di awal nama tokoh pemilik makam, maka pada nisan Al-Malik Ash-Shalih yang wafat pada Ramadhan 696 H, gelar itu pertama sekali dicantumkan. Dengan demikian, sejauh yang diketahui tentang tinggalan sejarah Islam di Asia Tenggara, Al-Malik Ash-Shalih merupakan sultan pertama yang muncul di kawasan Asia Tenggara. Tidak mustahil pula jika kesultanannya telah mendapat pengakuan (taqlid) serta penggelaran sebagai Al-Malik Ash-Shalih dari khilafah Bani ‘Abbas yang pada waktu itu berada di Kairo.

Mengenai gelar sultan, Jalaluddin As-Suyuthiy (W.( menyebutkan dalam Husnul Muhadharah: “Penamaan ini (sultan) hanya dapat dipakai bagi seorang yang kekuasaanya membawahi raja-raja. Dia dengan demikian menjadi raja diraja seperti Mesir, Syam atau Ifriqiyah (Tunis dan ke baratnya), atau Andalus. Prajurit kerajaannya harus berjumlah sekitar 10.000 prajurit, dan apabila negeri di bawah kekuasaannya bertambah luas dan prajuritnya bertambah banyak, berarti tambah besar kekuasaannya, dan boleh disebut dengan sultan agung. Apabila disebut namanya dalam khuthbah-khuthbah di wilayah-wilayah seperti Mesir, Syam, Jazirah Arab dan semisal di Khurasan, Irak, Faris, atau di Afriqiyah, Maghrib Tengah dan Andalusia, maka ia dapat disebut dengan Sulthan Salathin (sultannya para sultan) sebagaimana halnya dinasti Seljuk.” Gelar sultan pertama sekali dipakai oleh Dinasti Buwaih pada masa ‘Abbasiyyah. Sejak itu, gelar sultan digunakan oleh Dinasti-dinasti Samaniyah, Ghaznawi, Saljuk, dan seterusnya oleh Dinasti Aiyubiyah, Mamalik (Mameluk) dan Utsmaniyyah (Ottoman). Dalam masa panjang itu, gelar Sultan juga kemudian digunakan oleh pemerintah-pemerintah negeri Islam di India.

Kemudian, sesuai data-data sejarah yang berhasil diperoleh dari inskripsi-inkripsi pada nisan-nisan tinggalan zaman Samudra Pasai yang masih dapat disaksikan sampai dengan hari ini di Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara, diketahui bahwa di pesisir utara Aceh telah muncul satu dinasti Islam yang memerintah sampai dengan permulaan abad ke-10 H/ ke-16 M. Dapat dikatakan — sejauh yang diketahui mengenai tinggalan sejarah Islam di Asia Tenggara — bahwa dinasti ini merupakan dinasti Islam pertama yang muncul di kawasan paling timur dunia Islam.

Dalam masa-masa pemerintahan dinasti ini, Islam mendapatkan bumi yang padat untuk tegak dan melebarkan sayap da’wahnya ke berbagai wilayah di Asia Tenggara.

Baca Selengkapnya…

Related posts