Sultan Manshur Syah, Pelopor Kebangkitan Aceh Abad XIX

Ibrahim Mansur Syah, Pelopor Kebangkitan Aceh Abad XIX
Makam Paduka Sri Sultan 'Alaiddin Manshur Syah bin Sultan Jauharul 'Alam Syah, Baperis, Banda Aceh. Foto: Mapesa Aceh

Dalam tahun 1853 M, seorang pemimpin Nederlandache Handel Mij, P. J.G. Sam melakukan peninjauan ke Aceh dengan kapal yang bernama “Sumatra” dan disambut baik oleh Sultan Aceh, walaupun kondisi politik Aceh – Belanda sedang memanas akibat Belanda mencaplok kawasan Sumatera Timur dari Aceh. Pertemuan antara Sam dan Sultan Aceh tidak membuahkan hasil apapun, dikarenakan Sam datang tanpa membawa surat rekomendasi dari Betawi (Batavia) maupun dari Padang dalam kunjungannya ini.

Tahun 1855 M, Belanda mengirim kapal perang “de Haai” dibawah pimpinan Letkol Laut Courier dit Dubekart untuk mengadakan pendekatan dengan Sultan Aceh agar tercapainya suatu ikatan persahabatan antara Aceh dan Belanda. Namun misi Courier dit Dubekart ini gagal, dikarenakan sikap Belanda yang terlalu angkuh dan sombong dalam berdiplomasi. Dimana Belanda berharap Sultan Aceh duluan meminta ikatan persahabatan. Pada pertemuan ini, Sultan Aceh memperingatkan Belanda agar mengembalikan Singkil dan Barus kepada Aceh. Bahkan Sultan ‘Alaiddin Manshur Syah juga mengancam merebut kembali jika Belanda tidak mengembalikannya.

Setelah beberapa kali pihak Belanda meminta jalinan persahabatan dengan Aceh, akhirnya Sultan ‘Alaiddin Manshur Syah sepakat untuk menjalin hubungan dengan Belanda pada tahun 1857 M. Dimana perjanjian ini memuat 9 pasal. Adapun isi perjanjian tersebut, sebagai berikut :

Mengingat bahwa antara Gubernamen Hindia Belanda dan Duli yang mahamulia sripaduka Sultan Aceh, Ala’uddin Manshur Syah telah dicapai kata sepaham untuk mengadakan suatu perjanjian perdamaian, persahabatan dan perniagaan, yang diperbuat dengan keridhaan kedua belah pihak untuk mengokohkan dan untuk memperluas perhubungan kedua pihak, demi kebahagiaan kerajaan dan rakyat masing-masing.

Maka sebab itu saya Jan van Swiatan General-Mayor, Gubernur Sipil dan Militer untuk Sumatara Barat, ajudan dinas luar biasa Sribaginda Raja, ridder Militaire Willemaorde de klasas dan Nederlandschen Leeuuw, atas nama dan untuk Gubernamen Hindia Belanda dalam hal ini mangadakan parundingan dangan duli yang mahamulia Sultan Acah, maka diikatlah perjanjian berikut dengan mana akan disyahkan kelak oleh Tuan Besar Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Pasal 1

Mulai saat ini terjadilah perdamaian sejati, persahabatan dan hubungan akrab antara Gubernamen Hindia Belanda dangan Sri Sultan Acah dan keturunan serta pengikutnya.

Pasal 2

Bila mana Rakyat Gubernamen Hindia Belanda atau Rakyat Sri Sultan Aceh ingin tunduk dibawah undang-undang negari sebelah lain, maka mereka itu dapat saja malakukan demikian, berpindah dimana saja untuk mandapatkan keinginan mereka yang halal baik didaerah Gubernamen Hindia Belanda maupun didaerah Sultan, dan mereka boleh melawat atau tinggal disana, memiliki hak, keuntungan dan perlindungan diri sendiri dan harta bendanya saperti yang sudah atau yang akan diberikan kepada Rakyat dan keturunan negara- negara dibawah angin yang paling mendapat keuntungan (meest bavoorrechtzijn),

Related posts